BAB 7

25.9K 1.3K 6
                                    

Pagi pertama Fitri menjadi menantu di keluarga mertuanya, pagi pertama untuknya tinggal bersama keluarga baru. Sulit bagi Fitri untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya, meski sama-sama dilingkungan pesantren tapi kali ini terasa begitu berbeda. Yang dulunya ia di pesantren hanya sebagai santri biasa, kini ia menjadi ‘Ning’ di pesantren milik abi suaminya.

Terlebih ia belum mengenal suaminya. Bagaimana kebiasaannya saat pagi, apa yang disukai dan tidak disukai. Apa pekerjaan dan lainnya. Fitri belum mengetahui itu semua.

Mendapat seorang suami yang bergelar ‘Gus’ pun jarang terpikirkan olehnya. Itu pun saat ia dan teman-temannya membicarakan Gusnya dulu. Karena ia pun sadar diri, dari pada berekspektasi terlalu tinggi dan akhirnya terjatuh karenanya. Lebih baik ia buang jauh-jauh pikiran itu sebelum ia dihantam oleh kenyataan. Ia sadar ia hanya santri biasa, tidak ada yang bisa dibanggakan atau diistimewakan darinya. Pun saat itu sudah terdengar desas-desus perjodohan antara Gusnya dengan salah satu putri seorang Kiai yang juga mondok di pesantrennya.

Sama dengan yang ia lakukan di pesantrennya dulu, pagi ini Fitri membantu uminya untuk memasak. Menu pagi ini sangat sederhana, hanya nasi goreng dan beberapa lauk tambahan seperti telur mata sapi, ayam goreng dan sosis. Semua anggota keluarga ndalem sudah berkumpul di meja makan saat Fitri membawa wadah yang berisikan nasi goreng, disusul dengan uminya yang membawa piring berisikan lauk.

Fitri mengambilkan nasi goreng untuk Gus Akhya. “Lagi?” tanya Fitri.

“Cukup.” Fitri mengangguk paham.

“Lauknya?”

“Telur sama sosia saja.”

Ekhem!

Semua orang yang ada di meja makan mengalihkan atensinya pada seorang gadis yang duduk disamping Gus Akhya, sementara itu gadis yang ditatap hanya cengengesan sambil menatap ke arah Gus Akhya.

“Pengantin baru mah beda, kalau dulu enggak ada yang ngambilin buat makan, sekarang mah diambilin, dilayanin. Iya enggak, Bang?” Ning Ari terkekeh, ia menyenggol lengan Gus Akhya. Matanya mengerling jahil begitu Gus Akhya menatapnya.

Gus Akhya menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal, ia tersenyum tipis  sembari menatap Ning Ari yang masih saja terkekeh. Berusaha menahan diri agar tidak menghujat adiknya di depan abi dan juga uminya. Terlebih sekarang juga ada Fitri, istrinya, ia harus menjaga image baiknya. Abah Kiai Salman dan Umi Fatma menggelengkan kepalanya melihat tingkah putrinya, selalu saja menggoda sang kakak.

“Ssst! Wes, ndang dimakan. Jek isuk, ojo nggarai Abangmu isin ,” lerai Umi Fatma yang diakhiri dengan kekehan beliau. Gus Akhya kira uminya akan membelanya, tapi nyatanya sama saja. Pada akhirnya pun ikut menggodanya.
(Ssst! Sudah, cepat dimakan. Masih pagi, jangan buat abangmu malu)

Gus Akhya mendengus. “Umi sama aja kayak Ari.” Gus Akhya memasukkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya. “Sama-sama seneng nggarai  Akhya.
(*Sama-sama suka ngerjain Akhya)

Selesai sarapan Akhya kembali masuk ke kamarnya, disusul dengan Fitri dibelakang. Sampai sekarang gadis itu masih belum tahu harus melakukan apa disini. Jika mau melakukan sesuatu itu pun masih sangat sungkan meski sudah beberapa kali Umi Fatma menyuruhnya untuk melakukan hal apa saja yang ia mau. Iki Yo omahmu nduk, ojo sungkan-sungkan , tutur beliau.
(*Ini juga rumahmu, nduk. Jangan sungkan-sungkan)

Masih dalam hari cuti, Gus Akhya memilih untuk tetap berada di ndalem. Tubuhnya masih terasa letih. Beberapa hari sebelum menikah, Gus Akhya memaksakan dirinya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Membuatnya kekurangan tidur dan  istirahat. Ia mengambil salah satu buku yang tertata dalam lemari khusus untuk buku atau kitab-kitabnya. Ia mendudukkan dirinya di sofa berwarna abu-abu yang tersedia di kamarnya.

Insya Allah Gus [Repost]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang