BAB 31

20.2K 1K 23
                                    

Akhya membanting pintu saat keluar dari mobilnya. Para santri yang melihatnya bergidik ngeri melihatnya. Akhya yang biasanya terlihat ramah dengan senyuman yang selalu menghiasi wajahnya berubah menjadi menyeramkan, mata yang menyorot tajam dengan rahang yang mengeras.

"Abi ... Abi," panggil Akhya pada abinya. Ya, Akhya tahu, memanggil orang tuanya seperti itu memang sangatlah tidak sopan, tapi ia sudah tidak tahu lagi harus bagaimana. Ia bingung, kacau.

Sesaat kemudian abinya itu keluar dari kamarnya sedikit tergopoh mendengar Akhya memanggilnya seperti itu. "Kenek opo, Le¹?" tanya beliau dengan tenang seperti biasanya.

Tidak menjawab pertanyaan abi, Akhya langsung mendekap sang ayah. Memeluknya erat. Sedangkan Abi Salman terus mengelus-elus punggung Akhya. Mencoba memberi ketenangan. Perlahan mengajaknya untuk duduk. Beliau sudah mengerti, ada sesuatu yang terjadi pada Fitri tapi belum dengan pasti apa yang dialaminya.

Umi Fatma yang datang dari dapur pun bingung dengan apa yang beliau saksikan. Beliau menoleh ke suaminya. Abi Salman memberikan isyarat agar para santri yang ada di ndalem diperintahkan untuk keluar. Sekembalinya Umi Fatma, keadaan Akhya sudah lebih tenang dengan mata yang memerah. Akhya menangis dalam pelukan Abinya.

"Iki enek opo se, Le?" tanya umi, "terus mantune umi nang ndi²?" lanjut beliau menuntut akan sebuah jawaban.

Akhya menunduk dalam. Tidak sanggup ia berkata. Lidahnya terlalu untuk berucap. Akhya mencoba menormalkan nafasnya

"Sampean kenek opo, Le? Fitri nang ndi?" sekali lagi umi bertanya.

"Fitri."

"Iya, Fitri di mana?" cerca umi tidak bisa bersabar, beliau merasa menantunya berada dalam bahaya.

"Fit-Fitri. Fitri dicu-lik, Umi," ucap Akhya tersendat-sendat. Air mata kembali jatuh mengalir di pipinya. Lebih deras dari sebelumnya.

"Innalilahiwainnailaihirojiuun." Umi Fatma terkejut mendengar ucapan Akhya barusan. Beliau terdiam, tapi sesaat kemudian terjatuh tidak sadarkan diri.

"Umi!" pekik Akhya terkejut, begitu juga dengan Abi Salman. "Umi! Umi bangun Umi. Jangan bikin Akhya takut." Tangis Akhya kian menjadi. Dibopongnya sang umi dengan air mata yang terus mengalir. Akhya menidurkan umi dengan perlahan di kamar beliau. Akhya menggenggam erat tangan Umi Fatma. Menggosoknya dengan perlahan.

Akhya menoleh pada abi yang duduk di sisi ranjang, yang lainnya menatap beliau dengan tatapan hancur. Tangis Akhya belum berhenti, berkali-kali ia mengecup punggung tangan uminya. "Maafin Akhya, Umi," lirihnya.

"Maafin Akhya, Bi. Umi kayak gini gara-gara Akhya," sesalnya, "maafin Akhya," lirihnya.

Perlahan umi membuka mata, seketika air matanya mengalir begitu saja mengingat apa yang diucapkan Akhya tadi. Umi Fatma membalas genggaman Akhya, melihat Akhya dengan keadaan yang seperti ini membuat beliau ikut merasakan sakit. Bagaimana nantinya saat beliau bertemu dengan orang tua Fitri? Apa yang harus beliau katakan?

Akhya memberikan umi air putih yang ada di nakas samping tempat tidur.

"Maafin Akhya, Bi, Mik. Akhya enggak bisa jaga Fitri. Akhya enggak becus jadi suami," maki Akhya pada dirinya sendiri. Bagaimana kalau orang tua Fitri mengatakan bahwa ia tidak bisa menjaga Fitri. Bagaimana kalau nantinya Akhya tidak boleh bersama Fitri lagi karena kejadian ini? Akhya tidak bisa membayangkan itu semua.

"Kok iso sampek kedaden koyok ngene, Le?³" Abi membuka suaranya.

Akhya menceritakan semua yang terjadi di pasar sampai pada akhirnya Fitri diculik.

Insya Allah Gus [Repost]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang