BAB 35

22.3K 883 63
                                    

Tangis Fitri tidak kunjung berhenti setelah Akhya memberitahukan sesuatu kepadanya. Air matanya keluar dengan begitu derasnya. Lama-lama ia menangis tanpa suara, hanya isakan tatapan mata kosong.

Sedari tadi Akhya tidak melepaskan rengkuhannya sama sekali. Memberikan kekuatan pada Fitri lewat rengkuhan itu. Punggungnya dicengkeram erat oleh Fitri, ia hanya diam saja. Membiarkan Fitri meluapkan semua yang ia rasakan. Hatinya jauh lebih sakit dari pada fisiknya sekarang. Akhya menengadahkan kepala, sebenarnya ia juga tidak sanggup untuk memberitahukannya pada Fitri. Tapi bagaimana pun Fitri juga harus tahu.

"Ma-maaf, Mas," ucap Fitri tersendat.

"Shuut!" Akhya semakin erat mendekap Fitri. Bekali-kali Akhya mengecup singkat puncak kepala Fitri.

"Maaf, Fitri nggak bisa jaga calon anak kita, Mas. Fitri jahat. Fitri jahat," ucap Fitri kesal pada dirinya sendiri.

"Denger! Dengerin, Mas." Akhya menangkup wajah Fitri dengan kedua tangannya, ia memandang dalam mata Fitri yang sembab. "Allah ngambil calon anak kita itu karena Allah lebih sayang sama dia, Allah pingin dia kasih minum kita di Padang Mahsyar nanti," ucap Akhya berusaha menenangkan Fitri.

"A-apa Allah enggak percaya sama kita? Enggak percaya kalau kita bisa ngerawat dia?" Fitri berusaha menghentikan tangisnya.

"Allah percaya sama kita. Buktinya kita sudah diberi amanah, kan?"

"Iya, tapi kenapa? Bahkan sebelum Fitri lihat wajah dia, Allah sudah ngambil lagi. Jangankan lihat, Fitri bahkan enggak tahu kalau Fitri lagi hamil, Mas." Ia benar- benar hancur sekarang, bagaimana bisa ia tak menyadari keberadaannya? Fitri kembali tersedu dalam tangisnya. "Fitri enggak bisa, Mas," lanjut Fitri dengan suara lirih.

"Shut ... Fitri. Ini cobaan buat kita. Allah pengen lihat, bisa enggak kita ngelewatin ujian darinya. Sampean tahu kan kalau Allah enggak bakal nguji hambanya di atas kesanggupannya." Fitri mengangguk sekali, air matanya masih keluar tanpa ia minta. "Itu artinya Allah percaya kalau kita bisa ngelewatin ini, Fitri harus sabar. Orang sabar itu disayang Allah. Allah menaikkan derajat orang-orang yang sabar, Fitri tau itu kan? Fitri harus bisa ikhlas, ya?"

Tidak hanya Fitri, Akhya juga merasa hancur. Setelah istrinya, kini calon anaknya ikut menerima merasakan apa yang seharusnya ia rasakan. Bahkan sebelum anaknya lahir. Betapa jahatnya ia sebagai seorang suami dan calon ayah.

"Mas." Fitri berhambur ke dalam pelukan Akhya.

"Mas akan selalu di sini, disamping Fitri, nemenin Fitri," ucap Akhya lalu mengecup singkat puncak kepala Fitri.

Tangis Fitri perlahan mereda. "Astaghfirullahaladzim," ucap Fitri beristighfar sadar dengan apa yang ia ucapkan tadi.

"Udah, ya?" Akhya menghapus air mata Fitri dengan jarinya.

Fitri mengangguk pelan. "Maafin Fitri."

"Iya, udah ya! Tuh kan! Fitri enggak pantes kalau nangis, jadi jelekkan bidadarinya Mas?" ucap Akhya sembari mengembangkan senyum, Fitri tersenyum tipis, "gitu dong," ucap Akhya kembali merengkuh Fitri, "kalau gini kan sampean kayak le mineral," ucap Akhya.

"Maksudnya?"

"Kan jadi ada manis-manisnya gitu." Akhya terkekeh karena ucapannya sendiri.

"Receh," balas Fitri menyembunyikan rona merah di wajahnya.

Akhya terkekeh. "Udah turun dulu yuk, makan!" ajak Akhya sambil merangkul bahu Fitri.

"Iya," balas Fitri sambil tersenyum.

Akhya dan Fitri turun bersamaan, Fitri kemudian berjalan menuju dapur sedangkan Akhya berjalan ke ruang tengah bersama Abinya.

"Mbak Fitri," panggil Ari girang.

Insya Allah Gus [Repost]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang