BAB 36

21.3K 1K 33
                                    

Tiga bulan sudah berlalu, jika ada yang bertanya apa yang dilakukan Akhya tiga bulan yang lalu saat Fitri meninggalkannya untuk menemani Ari, jawabannya adalah Akhya membuka tutup file-file kerjanya, menyalakan dan mematikan laptopnya, men-scroll ke atas ke bawah layar ponselnya, keluar masuk kamar mandi, dan juga berguling-guling tidak jelas di atas kasur. Aneh, kan? Tapi itu tidak berlaku untuk Akhya, karena pada dasarnya Akhya memang aneh.

Pagi ini Akhya sudah selesai bersiap-siap untuk pergi ke kantor, hanya tinggal kaus kaki dan dasi yang belum melekat di badannya. "Fitri dasi mana dasi?!" tanya Akhya sambil teriak-teriak juga dengan tangannya yang memakai jam tangan.

"Laci lemari," jawab Fitri.

Akhya melangkahkan kakinya ke lemari, membuka pintunya dan mengacak-acak laci yang berisikan dasi Akhya yang sudah ditata rapi. "Yang warna item di mana?" tanyanya masih sambil ngacak-ngacak. Fitri yang masih merapikan tempat tidur kemudian berjalan mendekati Akhya.

"Yassalam. Kenapa diacak-acak, Gus?" pekik Fitri.

"Yang warna item enggak ada."

"Ada."

"Enggak."

"Awas! Minggir dulu, kalau ada awas aja ya! Rapiin balik!!" ucap Fitri sambil memandang Akhya tajam kemudian berbalik.

"Ya enggak mau, lah," ucap Akhya sekenanya sambil tersenyum.

Baru saja Akhya ingin mendekati Fitri dan memeluknya dari belakang, entah memang sudah tahu atau bagaimana Fitri berbalik dan langsung mengalungkan dasi itu di leher Akhya.

"Siapa tadi yang ngomong enggak ada?" ketus Fitri.

Akhya diam sambil cengengesan, tidak merasa bersalah sama sekali karena sudah mengacak-acak isi lemari.

"Itu dipakai sendiri, rapiin balik tadi yang udah diacak-acak!" ketus Fitri sambil beranjak menjauh.

Akhya mendengus kesal. Selesai memasang dasi Akhya berjalan menuju ke sofa hendak memakai kaus kakinya. "Fiiit! Kaus kaki di mana?" teriaknya lagi, sedangkan Fitri mendengus kesal dan memutar bola matanya. Padahal tempat dasi dan kaus kaki tidak pernah berubah, selalu di tempat yang sama, lagi pula mereka juga tak punya kaki untuk berpindah kan? Biasanya ia juga akan mengambilnya sendiri unttuk yang dua itu.

"Masya Allah," gemas Fitri. Fitri menyabarkan dirinya sendiri kemudian berjalan ke lemari lagi. Setelah mendapatkan yang ia inginkan ia berjalan ke Akhya. "Silahkan, Tuan Muda. Apa perlu saya bantu memakaikannya juga?" tawar Fitri seperti seorang ART pada tuannya.

"Ah iya-iya boleh," jawab Akhya sambil menahan tawa.

"Sudah selesai tuan muda, saya permisi."

"Ah tunggu, fi–"

"Semua keperluan kerja, laptop juga file-filenya sudah ada di dalam tas kerja Anda, Tuan," potong Fitri cepat.

Akhya melepaskan tawanya. "Hahahaha." Tidak sadar ia tertawa sampai perutnya sakit. "Ah iya, terima kasih."

"Biar saya yang membawa tasnya, Tuan." Fitri menundukkan badannya, mengangguk sekali lalu mengambil tas kerja Akhya yang berada di samping sang pemilik.

"Ah ... tidak usah, biar saya sendiri yang membawanya," tolak Akhya dengan wajah yang dibuat-buat.

"Tidak, Tuan. Ini sudah menjadi tugas saya sebagai pembantu di sini." Fitri menunduk, ternyata mereka masih melakonkan sebuah drama yang tidak jelas.

Akhya berdiri dari duduknya. "Tidak!" ucap Akhya sambil mengangkat tangannya, mendramatisir suasana. "Kau tidak pantas menjadi pembantuku." Akhya memegang kedua pundak Fitri, mengangkat dagu Fitri agar mereka saling menatap.

Akhya mengedipkan matanya sebelah membuat Fitri terhenyak. "Kau tidak pantas menjadi pembantuku," ulang Akhya."Menikahlah denganku dan jadilah ibu dari anak-anakku kelak."

Mereka berdua terdiam untuk beberapa saat sebelum tawanya mengudara, perut Fitri sampai keram dibuatnya. Sedangkan Akhya, laki-laki itu mengusap air mata di sudut matanya. Entah drama apa yang mereka mainkan, yang jelas itu sesuatu yang absurd dan juga menjadi hiburan tersendiri untuk Akhya karna berhasil mengganggu Fitri. Ia pikir Fitri akan marah, tapi kenyataannya Fitri juga ikut memainkannya. Mereka berdua memang sama, sama-sama tidak jelas.

"Udah kan? Ayo turun," ajak Fitri masih berusaha meredakan tawanya.

"Iya."

Gara-gara Akhya, Fitri menjadi merasa tidak enak dengan uminya karena tidak membantu memasak. Salahkan Akhya yang dari tadi selalu mengganggunya. Semua makanan sudah tertata di atas meja makan, mata Fitri berbinar melihat ayam kecap. Itu masakan kesukaan Fitri.

Setelah mengambil makan untuk Akhya, Fitri mengambil makan untuk dirinya sendiri. Ia memakannya dalam diam dan sesekali melirik kesal ke Akhya. Sedari tadi Akhya pun terus meliriknya. Bahkan Akhya terkadang tersenyum-senyum sendiri mengingat drama yang ia dan Fitri lakoni.

Umi yang duduk di depan Akhya menatap heran ke anak laki-lakinya itu. "Sampean sama Fitri kenapa sih, Le?" heran Umi Fatma.

"Hehehe. Mboten, Mik," jawab Akhya.

"Tumben Mbak Fitri ini tadi nggak ikut masak. Kenapa, Mbak?" timpal Ari.

"Oh tadi–"

"Dari tadi mbakmu itu bingung mau makai kerudung warna apa, bolak-balik tanya ke Abang. Padahal udah Abang bilang yang dipakai pas itu aja enggak apa-apa. Udah bagus. Mbakmu aja yang ngeyel bolak-balik ambil kerudung di lemari, ambil pakai copot, ambil–"

"Eeeh, mana ada. Orang dari tadi jenengan kok yang bikin lama, dasi dari bulan kemarin di laci lemari, masih tanya, diacak-acak lagi. Kaus kaki juga, di tempat biasa masih tanya. Mereka enggak punya kaki Gus buat pindah," potong Fitri cepat, ia tidak terima dengan yang dikatakan Akhya.

"Sekian berita hari ini. Terima kasih, dan selamat beraktivitas," ujar Akhya yang kemudian disambut gelak tawa Ari dan dirinya. Sedangkan abi dan umi tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Dan tentu saja Fitri menahan kesal dan mengumpat Akhya dalam hati.

"Duh Gusti, sabar-sabar," ucap Fitri. Akhya cengengesan mendengarnya. 

Insya Allah Gus [Repost]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang