BAB 25

21.3K 1.1K 16
                                    

Hari ini aku akan ikut Gus Akhya ke kantor lagi, jika tidak diizinkan ya aku akan memaksanya. "Mas, saya ikut ke kantor, ya?" pintaku.

"Sampean kenapa kok tiba-tiba jadi sering banget pingin ikut ke kantor?" tanyanya sembari membolak-balikkan map di tangannya.

"Mmm nggak boleh, ya?" lirihku.

"Ya enggak apa-apa, tapi aneh aja. Fathir aja sampai tanya gitu ke saya."

"Oh. Ya udah enggak jadi," jawabku lesu. Aku mendudukkan diriku di pinggiran ranjang.

"Ngambek nih ceritanya? Hmm?" Gus Akhya mengangkat daguku agar menatapnya. Aku hanya menggeleng kecil.

Aku hanya menginginkan satu hal. Aku ingin membantunya. Hanya itu. Tapi bagaimana bisa membantu kalau Gus Akhya saja tak mengizinkan aku ikut dengannya ke kantor. Aku butuh seseorang untuk jadikan teman cerita. Tapi pada siapa? Najwa? Tidak, itu bukan pilihan yang tepat. Lalu, Bang Faiz? Aku tidak mau kakakku itu khawatir.

Tapi jika bercerita tentang masalah Gus Akhya di kantor, apa itu juga dianggap sebagai mengumbar-umbar aib suami? Itu yang aku takutkan. Padahal aku hanya ingin meminta solusi. Abi. Ya, terbersit di pikiranku untuk bertanya pada abi. Mungkin nanti malam saja ketika abi mempunyai waktu senggang.

***

Akhya menatap Fitri intens. Melihat Fitri membuat hatinya tenang. Tak terpikir sama sekali masalah di kantor. Kalau bisa, ia hanya ingin pandangi Fitri dengan senyuman manis yang selalu menyambutnya ketika ia pulang kerja. Yang selalu membantunya ketika ia butuh. Yang selalu membantunya bangkit saat terjatuh. Yang selalu menghiburnya di kala ia sedih. Dan yang selalu membuatnya tertawa bahagia.

Sebenarnya ingin sekali Akhya bercerita tentang masalah di kantor. Tapi ia takut Fitri akan khawatir, takut jika Fitri jatuh sakit karena terlalu memikirkannya.

Tak terasa setetes bulir air jatuh dari sudut mata Akhya. Cepat-cepat ia hapus kasar. Ia merasa telah membohongi Fitri.

"Gus," panggil Fitri lembut. "Sampean nangis?" Akhya menggeleng lalu tersenyum.

"Kenapa, Gus? Cerita sama Fitri," tanya Fitri sambil menuntun Akhya untuk duduk di tepian ranjang.

"Saya bersyukur sekali punya istri seperti sampean, tidak salah dulu abi menjodohkan saya sama sampean. Maaf kalau saya selama ini suka bikin sampean sedih. Maaf kalau saya belum bisa bahagiain sampean."

Fitri langsung menghambur ke pelukan Akhya. Ia ingin Akhya merasa kalau dirinya selalu ada untuknya. Fitri tahu, sekarang Akhya dalam masa-masa yang sulit. Ia tahu bagaimana Akhya menghadapi semua masalahnya. Dalam hati ia selalu bicara, tidak akan ia maafkan orang yang sudah membuat Akhya menjadi seperti ini.

Fitri melepas pelukannya. "Saya ada di sini, Gus. Ndak peduli susah atau seneng, saya selalu bersama jenengan."

"Makasih ya, Fit."

Hari ini Fitri tidak jadi ikut ke kantor, Akhya tidak mengizinkan. Tapi ya sudahlah, ia juga masih bisa pikirkan di ndalem. Mendengar para santri membaca Al-Quran membuat hati dan pikirannya adem. Ia bisa berpikir jernih untuk itu.

"Ya Allah, mudahkan segala urusan Gus Akhya." Tidak henti-hentinya ia merapalkan doa. Berharap Allah akan segera mengabulkan doanya.

***

Fitri menghubungi Akhya lewat chat, rencananya ia akan membawakan makan siang untuk Akhya dan juga Fathir.

Fitri : Gus, jenengan jangan makan di luar. Saya mau ke sana bawain makan siang, sekalian buat Bang Fathir.

Insya Allah Gus [Repost]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang