BAB 23

23.1K 1.2K 72
                                    

"Assalamu'alaikum." Akhya mengulas senyum andalannya saat bertemu dengan Abi Salman di teras ndalem, ia mencium punggung tangan abinya. Tidak jarang Abi Salman memilih untuk membaca kitab beliau di teras, duduk di atas kursi goyang milik beliau seperti saat ini.

"Wa'alaikumussalam," jawab Abi Salman sambil membenahi kaca mata bacanya. "Tumben sudah pulang?" Abi Salman tidak menatap Akhya saat bertanya, beliau masih fokus dengan kitab di tangan beliau, begitu juga saat tadi Akhya menyalaminya.

"Enggeh, Bi." Akhya duduk bersimpuh di sebelah kaki Abi Salman.

Dahi Abi Salman berkerut saat mendapati putranya seperti ini, tangan beliau terangkat menepuk pelan kepala Akhya. "Onok opo, Le? Gak biasane awakmu koyok ngene¹." Beliau menatap putranya dengan tatapan tidak terbaca, tidak biasanya putranya bersikap seperti ini. Abi Salman memang seorang ayah yang dekat dengan anak-anaknya sejak kecil, membuat beliau hafal dengan sifat kedua anaknya.

Salah satu tangan Akhya terangkat memegangi salah satu kaki Abinya. Ia menghela napasnya berat. "Ada sedikit masalah di kantor," ucapnya lirih, "perusahaan mengalami kerugian," lanjutnya.

Abi Salman mengangguk sekali, beliau membalas tatapan putranya dengan tatapan hangat seperti biasanya. "Yo wes, sesok Fathir kon rene!²" pinta beliau.

"Damel nopo, Bi³?" Akhya melepaskan tangannya dari kaki Abinya.

"Mung ngomong-ngomong biasa, tur bocahe yo wes suwi ora rene." Abi menepuk pundak Akhya sekali, mengisyaratkan agar Akhya bangkit dari duduknya. "Ndang resik-resik, ben seger awak'e, seger pikirane."

Akhya mengangguk sekali, berpamitan pada abi untuk masuk ke kamarnya. Begitulah Akhya, ia akan menceritakan masalahnya pada abinya. Sebenarnya masalah ini sudah ia ketahui sejak beberapa hari yang lalu, tapi baru menceritakannya pada abi hari ini. Ia tidak akan bercerita pada siapapun jika itu memang bukan hal yang penting atau ia memang membutuhkan saran dari orang lain untuk memecahkan masalahnya, atau paling tidak ia hanya butuh seseorang yang bisa mendengar keluh kesahnya.

"Loh, kok jam segini udah pulang?" Wajar saja saat Fitri bertanya seperti itu pada Akhya yang sudah berada di ndalem di jam segini. Padahal jam pulangnya masih empat jam lagi.

Akhya menoleh pada Fitri, ia terdiam sebentar menatap Fitri yang juga tengah menatapnya. Menantikan jawaban keluar dari bibirnya. "Enggak apa-apa. Saya mandi dulu."

Fitri terdiam sebelum mengambilkan handuk milik Akhya, juga baju gantinya. Pikirannya dengan cepat menyimpulkan jika suaminya itu sedang memiliki masalah, raut wajah dan juga sikap Akhya barusan seakan memberi tahunya tanpa Akhya jelaskan. Sampai saat Akhya selesai dengan mandinya pun Fitri masih bergeming di tempatnya.

"Mas, mau makan sekarang?" tawar Fitri dengan senyuman, ia berjalan mendekat pada Akhya. Mengambil handuk yang basah dari tangan Akhya. Fitri membiasakan memanggil Akhya dengan panggilan 'mas' akhir-akhir ini. Meskipun terkadang masih memanggilnya dengan panggilan 'gus'.

Akhya tersenyum tipis pada Fitri lalu menggeleng pelan. "Ndak, saya mau istirahat dulu," pungkas Akhya, ia membaringkan tubuhnya di ranjang. Ia menganggukkan kepalanya saat Fitri meminta izin untuk ke pondok, ia biarkan tangannya di tarik Fitri untuk disalami.

Satu tangannya menutupi matanya, menghalau cahaya lampu yang terang. Raut wajah lelah benar-benar terlihat sekarang, ia membuang napas berat. Astaghfirullahal adziim.

***

Umi Fatma menatap Akhya dengan tatapan khawatir, bagaimana tidak? Putranya terlihat tidak menikmati makan malamnya hari ini. Ia juga meminta izin untuk tidak mengajar diniyah dulu untuk malam ini. Ikatan batin antara seorang ibu dan anak itu sangat kuat, pikiran beliau mengatakan kalau saat ini putranya itu tengah mengalami sesuatu.

Insya Allah Gus [Repost]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang