BAB 16

21.6K 1.1K 28
                                    

Pagi yang cerah tapi berbanding terbalik untuk Fitri dan juga Akhya. Dari semalam mereka saling mendiamkan satu sama lain, hanya berbicara mengenai hal-hal yang penting. Pun pagi ini, mereka yang biasanya salat tahajud dan subuh bersama, memilih untuk berjamaah dengan para santri di musala. Mereka berdua bersikap seperti biasanya ketika di meja makan atau sedang berkumpul. Namun, sikap mereka berdua tidak lepas dari pengamatan Abi Salman. Beliau hanya mengamati saja, tidak ingin ikut campur dengan masalah rumah tangga anaknya, tapi jika beliau rasa itu sudah kelewatan, beliau akan menegurnya.

"Le," panggil Abi Salman.

"Dalem, Bi," sahut Akhya sambil menoleh pada abinya.

"Sampean ada masalah sama Fitri, ta?" tanya Abi Salman dengan tatapan mata teduh.

"Mboten, Bi," jawab Akhya dengan tersenyum, mana mungkin ia menceritakan masalah keluarganya pada orang lain? Sekalipun itu orang tuanya sendiri. Bukankah suami itu pakaian bagi istrinya dan istri sebagai pakaian bagi suaminya? Akhya rasa masalah ini masih bisa ia atasi sendiri, tidak perlu melibatkan orang luar dalam permasalahannya kali ini.

"Nek enek masalah kuwi dimarikne, gak malah meneng-menengan¹," tutur Abi Salman dengan lembut. Sepertinya Akhya lupa siapa abinya ini, meskipun ia tidak menceritakannya pun akan tahu dengan sendirinya. Tertunduk diam Akhya mendengarkan penuturan Abinya.

Abi gak pingin melok campuri urusanmu. Tapi pesenku, awakmu karo Fitri iki kudu podo-podo ngerungokne penjelasane, ben gak onok masalah tur gak onok salah paham. Ngerti Le?"tutur beliau dengan sifat kebapakannya.

"Enggeh, Bi." Akhya mengangguk sekali.

"Abi titip pondok ya, Abi sama umi mau pergi ke Ponorogo." Abi Salman menyeruput kopinya setelah mengatakannya.

"Enggeh, Bi. Abi di sana berapa hari?" tanya Akhya.

"Lima hari mungkin."

"Ari juga ikut?" tanya Akhya lagi dengan atensi hanya tertuju pada abinya. Abi Salman mengangguk sebagai jawaban.

Akhya masih berada di tempat yang sama, belum berpindah sama sekali, hanya merubah posisi duduknya saja. Lama ia terdiam untuk memikirkan nasihat abinya barusan, tidak ada salahnya juga dengan nasihat yang diberikan abinya. Setelah ini ia harus berbicara pada Fitri. Baru saja ia bangkit dari duduknya, seorang abdi ndalem memanggilnya. Matanya meneliti paket yang diberikan padanya untuk Fitri.

"Faiz Kalandra," gumam Akhya membaca nama pengirim paket. Apa ini dari laki-laki itu? Akhya menghela napas berat, urung bicara pada Fitri. Ia malah mengamati paket itu, lupa dengan niat awalnya. Ego kembali menguasai dirinya. Ia berjalan ke dapur dan meminta tolong pada salah satu santri putri untuk memanggilkan Fitri. Tidak lama Akhya menunggu, Fitri sudah berdiri di hadapannya.

Tidak ada yang membuka suaranya, Fitri yang memang masih memiliki kesibukan di asrama putri pun mengalahi untuk berbicara terlebih dulu. "Ada apa, Gus?" tanya Fitri lembut. Tanpa sepatah kata Akhya langsung memberikan paket itu ke Fitri. Senyum Fitri terbit setelah mengetahui siapa pengirimnya. "Bang Faiz," ucapnya lirih.

Akhya yang melihat Fitri tersenyum pun semakin curiga, sebenarnya ada hubungan apa Fitri dengan laki-laki itu? Jikalau benar dengan apa yang di ucapkan Fitri waktu itu. Kenapa Fitri terlihat begitu senang?

Fitri langsung membuka paket itu. Selembar kertas pun jatuh, Fitri memungut kertas itu dan membaca tulisan yang tertulis di sana. Fitri tersenyum begitu selesai membaca surat itu dan langsung menelepon kakaknya.

Insya Allah Gus [Repost]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang