Sedari tadi Jungkook hanya pasrah mengikuti langkah Jiyeon yang terus menyeretnya ke berbagai wahana permainan.Mereka tengah berada di Lotte World. Beruntung karena hari ini bukan weekend, sehingga tidak terlalu ramai oleh pengunjung. Jungkook bisa saja menyewa seharian penuh Lotte World ini supaya Jiyeon bisa berkeliaran tanpa takut hilang. Tapi Jiyeon melarang, dia bilang tidak ada enaknya kalau kencan tidak di keramaian.
Kencan katanya.
"Aku lelah, kita balik saja," tutur Jungkook dan ditatap tajam langsung oleh Jiyeon. Tentu saja, mereka belum menghabiskan banyak waktu dan sekarang Jungkook sudah lelah.
Dasar lemah
"Sebentar lagi, kan tadi janji tiga jam. Ini belum sampai 2 jam."
"Tapi kau akan menepati janjimu, 'kan?"
Jiyeon mengangguk walaupun hatinya sedikit sakit karena Jungkook menerima tawaran sampah yang dibuatnya.
Kau ingin aku tidak mengganggumu lagi bukan? Temani aku kencan selama tiga jam, aku janji tidak akan mengusikmu lagi.
Dari hatinya yang paling dalam, Jiyeon berharap Jungkook menolak. Sangat berharap, tapi apa yang Hoseok katakan tadi, ini resikonya. Dan benar saja, Jungkook mengiyakan tanpa keraguan sedikitpun tadi.
Waktu berjalan cepat ternyata, dan ini sudah lewat dari jam yang dijanjikan. Jiyeon duduk bersampingan dengan Jungkook di salah satu kursi kayu dengan ice coffe di tangan Jiyeon.
Lima belas menit tanpa ada percakapan, keduanya enggan memulai lantaran pandangan sibuk menatap ke depan. Beberapa pasang manusia yang terlihat bahagia bergandengan tangan, keluarga kecil dengan seorang balita di antara mereka. Bahkan remaja sepantaran Jiyeon pun ikut berlalu lalang dengan wajah bahagia.
"Kenapa tiba-tiba?" tanya Jungkook yang sudah tidak tahan dengan kediaman gadis di sampingnya. Tidak biasanya Jiyeon pendiam dan berkali-kali menghela napas. Itu bukan gaya Jiyeon sama sekali.
"Apanya?"
"Kenapa tiba-tiba ingin pergi? Dulu saat aku berkata kasar pun kau tetap keras kepala."
"Aku sudah sampai di titiknya Jungkook-ah," lirih Jiyeon tanpa menoleh pada Jungkook. Padahal sedari tadi Jungkook memperhatikan wajah Jiyeon. Gadis itu seperti menutup diri dan tidak terbaca lagi.
"Jadi, hanya segini?"
Jiyeon terkekeh hambar, bibir tersenyum tapi tidak dengan matanya.
"Hanya segini kau bilang? Ini cukup lama Jung. Sudah lebih dari sembilan tahun." Menggigit bibir bawahnya agar rasa sesak di dadanya tidak membuat air matanya keluar. Tidak untuk saat ini.
"Aku lelah. Mengejarmu ternyata bisa lelah juga meskipun aku terlalu mengabaikan itu dulu. Sekarang kalau dipikir lagi, aku memang bodoh terlalu percaya kau akan berbalik dan bisa menghargai kehadiranku. Kupikir suatu saat kau akan sadar kalau aku ada dan memiliki banyak cinta untukmu. Tapi itu semua percuma, terlalu banyak waktu yang kubuang demi rasa sakit yang kuterima." Jiyeon berdiri, menghadap Jungkook yang masih diam dalam duduknya.
"Aku juga lelah berpura-pura menjadi wanita dewasa seperti yang kau inginkan. Aku terlalu lelah untuk sembilan tahun ini. Tapi kau harus tahu, masa remajaku hanya diisi tentangmu. Setidaknya kau yang membuatku menjadi seperti ini. Aku makan dan minum sesuatu yang tidak aku sukai hanya untuk memperbagus tubuhku. Demi menjadi cantik untuk mu."
Jiyeon mengulurkan tangan mungilnya di depan Jungkook yang masih setia tidak mengeluarkan suara. "Ayo kita akhiri aksi kejar-kejaran sepihak ini?" ucap Jiyeon sambil tersenyum.
Jungkook berdiri tidak menyambut uluran tangan Jiyeon. Mata elangnya mamatut wajah polos Jiyeon.
Jiyeon ternyata sudah membuat pembatas yang kokoh kendati gadis itu baru saja ingin mengakhiri cinta pertamanya. Keseriusan dalam kalimatnya begitu sinkron dengan hazel cokelat mudanya.
Jiyeon menarik lagi tangannya. Mengepalkan di kedua sisi tubuhnya.
"Apa boleh aku minta sesuatu untuk yang terakhir kali?" tanya Jiyeon yang berusaha mati-matian menahan air mata yang mulai mendesak minta ditumpahkan.
"Apalagi?" sahut Jungkook dingin.
"Aku ingin ciuman perpisahan. Kau benar, aku belum melakukan ciuman pertamaku sama sekali. Aku akan melakukannya denganmu untuk yang pertama dan terakhir kalinya."
Entah apa yang dipikirkan Jungkook, lelaki itu masih diam tanpa sepatah kata untuk menanggapi kalimat Jiyeon.
"Okay, kalau kau tidak mau juga tidak aphhhh—"
Kalimat Jiyeon tertelan begitu saja saat bibirnya dibuat bungkam oleh bibir Jungkook. Mata Jiyeon memejamkan dengan jantung yang berdegup kencang.
Bibir Jungkook memijit bibir Jiyeon lembut, kemudian berganti dengan isapan pada bibir bawah sang jelita. Jiyeon sedikit demi sedikit mulai mengerti dan membalas ciuman lawannya. Menjadi lumatan panas hingga akhirnya lidah Jungkook mulai berani meminta akses masuk ke mulut Jiyeon.
Kedua kepalan tangan Jiyeon mengerat di masing-masing sisinya. Sementara sepasang telapak tangan besar Jungkook sudah menangkup wajah mungil Jiyeon.
Jiyeon membuka mulutnya, membiarkan lidah Jungkook mengambil alih permainan. Membelit lidah lawan dan menghisapnya masuk ke mulutnya. Terlalu hanyut dalam ciuman panas mereka hingga abai akan keadaan sekitar.
Setelah dirasa cukup walaupun tidak puas sedikitpun, Jungkook melepaskan tautan kedua bibir yang sudah memerah dan basah. Napas mereka tersengal terlebih Jiyeon yang baru saja melakukan debut ciumannya.
Ibu jari Jungkook mengusap bibir bawah Jiyeon yang basah akibat saliva Jungkook. Wajah polos Jiyeon merona dengan kedua mata yang masih terpejam. Seperti dewi.
Perlahan membuka matanya, Jiyeon menatap sendu wajah Jungkook yang berada begitu dekat dengan wajahnya. Hingga matanya bertemu dengan mata elang milik Jungkook. Hanya beberapa detik dan Jiyeon langsung mengalihkannya. Ia tidak akan sanggup bila sedikit lebih lama lagi terjebak di obsidian kelam Jungkook.
"Terimakasih dan selamat tinggal, Jungkook," ucapnya dan berlalu begitu saja dari hadapan Jungkook. Berjalan bahkan berlari menjauhi Jungkook. Ini akhir cinta pertamanya.
Hal yang seharusnya ia lakukan sedari dulu. Kalau Jiyeon tidak keras kepala dan mengakhiri ini lebih awal. Pasti tidak akan semenyakitkan ini.
Terkutuklah Jiyeon dengan sifat bebalnya.
Pandangannya mulai buram akibat air mata yang menggenang. Dan presensi seorang pria yang berdiri tak jauh darinya pun membuatnya semakin berlari kencang. Menghambur hingga tubuh si pria pun sedikit terhuyung ke belakang.
Jiyeon tidak peduli lagi, ia hanya butuh menangis seperti orang bodoh sekarang.
"Tenanglah, kau sudah melakukannya dengan baik," tutur Hoseok menangkan, mengusap punggung mungil itu sayang.
Jiyeon selalu jadi gadis kecil di matanya. Sakit Jiyeon pasti juga sakitnya. Sesering apapun Jiyeon membuatnya kesal, rasa sayang karena sudah menganggap Jiyeon seperti adik sendiri pun tidak bisa dilenyapkan.
"Aku yang mengakhirinya, aku takut menyesal." Isak Jiyeon terdengar pilu.
"Tidak akan, kau sudah melakukan hal yang benar, percaya padaku. Kau tidak akan menyesali keputusanmu."
"Kau tahu? Ini keputusanmu yang paling benar, Ji."
Maka setelah kalimat itu keluar, tangis Jiyeon semakin menjadi dan membenamkan wajahnya pada bahu Hoseok sang sahabat.
•••
Vschoco_
10/10/19