Aroma petrikor menyeruak masuk menggelitik rongga hidung manusia. Langit mendung. Memamerkan bahwa entitasnya kini tengah diliput sedih. Pun matahari tak berniat menyinari. Membiarkan awan gelap nan hitam mengerubungi.Tepat sasaran dengan kondisi Jiyeon saat ini. Figurnya tengah nelangsa. Menatap kosong pemandangan yang dihamparkan percuma pada sepasang netranya. Namun, netra itu tidak memancarkan kilau seperti biasa. Kali ini terlihat redup, kehilangan asa.
Lima hari ia mencoba menjauh dari komunikasi orang-orang terdekat. Memutuskan untuk mengasingkan diri ke Dubai. Jauh dari orang-orang terkasih.
Termasuk, seseorang yang sempat mengisi hati.
Jeon Jungkook.
Hatinya menjerit rindu. Tapi kenyataan pedih selalu memberi tamparan berkali-kali agar otaknya mengerti, Jungkook bukan lagi sosok yang bisa ia miliki.
Hanya bermodalkan nekat dan minta tolong pada ayahnya yang tengah berada di Miami. Tidak banyak bercerita, Jiyeon hanya menjelaskan ia butuh liburan dan meminta sang ayah agar tidak memberi tahu Jimin tentang liburannya. Sang ayah pun hanya menduga jika kedua buah hatinya tengah mengalami pertengkaran. Maka, yang bisa di lakukan hanyalah menuruti keinginan si bungsu dan memfasilitasi kebutuhan anak gadisnya.
Gadis itu menumpukan kedua lengannya pada pagar pembatas balkon. Memandang kosong ke depan. Tidak menemukan titik yang menarik bagi netranya. Entah kenapa semenjak kejadian itu air mata tak kunjung keluar. Hatinya seolah mati, tidak lagi bisa merasakan kalau Jimin dan Hoseok peduli setengah mati.
Tidak bisa dipungkiri jika semua rasa sakit ada karena dirinya sendiri yang keras kepala dan tidak mau diarahi. Berulang kali Jimin dan Hoseok memberi saran agar ia bisa membuka hati untuk pria lain. Yang mencintai Jiyeon dan menghargainya. Yang bisa meyakini jika dunia lebih baik jika cinta tidak dilakukan hanya sendiri.
Kepalanya menoleh pada pintu. Seseorang menekan bel apartemennya.
Ah-benar juga. Jiyeon lupa sudah memesan makanan lima belas menit yang lalu.
"Benar ternyata."
Satu sapaan yang Jiyeon terima saat membuka pintu apartemen. Matanya membola dengan rasa tidak percaya jika sosok pria yang kini di hadapannya memberi tatapan tajam seakan Jiyeon membuatnya marah lantaran menghilang dan memutuskan semua akses untuk menghubunginya.
"Kenapa kau bisa ada di sini?" Tanya Jiyeon yang masih menolak jika pria di hadapannya nyata.
"Aku punya koneksi tidak terbatas Jiyeon. Aku bisa menemukanmu walaupun kau kabur ke tempat terpencil sekaligus."
Perasaan terkejut tadi mereda seketika, tubuhnya mundur dan mempersilahkan Namjoon untuk masuk.
Pria tinggi itu melangkahkan tungkainya ke dalam. Disusul Jiyeon yang baru saja menutup pintunya kembali.
Menghempaskan tubuhnya yang lelah pada sofa Jiyeon, mata Namjoon pun terus memperhatikan pergerakan Jiyeon ke dapur untuk membuatkan minum.
"Kau tampak mengerikan, Ji."
Jiyeon tersenyum miring, membenarkan penilaian Namjoon yang blak-blakan.
Kulit yang semakin pucat dengan lingkaran hitam di mata. Jiyeon seperti tidak tertarik dengan yang namanya hidup. Seolah menunggu detak jantung segera berhenti lantaran hati yang tak kunjung pulih.
Tapi, dari semua perubahan Jiyeon, ada satu hal yang mengganjal di mata Namjoon. Bayangan jika Jiyeon malas makan dan menemukan Jiyeon dengan tubuh yang semakin kurus terbantahkan sudah.
Jiyeon lebih berisi dari sebelumnya. Tampak lebih berisi dan semakin sexy?
"Apa kau makan dengan baik?" Alis Namjoon naik sebelah saat bertanya.