👣19

12K 1.1K 112
                                    

Semula Jiyeon sempat berpikir bahwa setiap untaian kata-kata yang Jungkook lantunkan sebelumnya merupakan bualan semata. Jiyeon tidak ingin berharap lebih lagi. Sebab, hatinya yang kokoh terdahulu sudah lenyap tak berbekas karena Jungkook.

Namun, agaknya sebulan ini Jungkook mengekori ia kemanapun pergi. Pun Jiyeon tidak mengerti dengan perubahan sikap Jungkook yang di luar rasio.

Jeon Jungkook adalah pria bermatabat tinggi yang tidak akan merendahkan diri di hadapan kaum hawa. Pun kaum hawa justru bertekuk lutut akan eksistensinya yang amat didamba.

Namun, fakta sekarang jelas mengatakan bahwa Jungkook telah kehilangan hal tersebut.

Maka, Jiyeon hanya bisa memutar bola mata malas saat lagi dan lagi ia menikmati makan malam tanpa kesendirian. Hadirnya Jungkook yang mengoceh tidak jelas dan sesekali menyeringai menatapnya sudah menjadi rutinitas keseharian yang lumrah bagi Jiyeon.

Si pria dewasa yang membeli apartemen mewah di sebelah apartemennya jarang digunakan. Lantaran lebih sering menginap di kamar Jiyeon yang selalu menuntut sebuah pelukan sebelum tidur dan sedikit kecupan ditambah lumatan tentunya.

"Jungkook, kalau kau tidak memakai apartemenmu kenapa tidak di jual saja? Lagian kasian ibumu  sering ditinggal sendiri." Hal yang sudah cukup lama ingin ditanyakan pun akhirnya bisa terucap.

Jungkook menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi makan.

Makan malam mereka telah usai dan sekarang gadis polosnya tengah berdiri dan membersihkan meja makan. Membawa piring kotor ke tempat cucian.

"Apartemen itu aku beli atas nama mu, Child," jawabnya santai. Tidak peduli dengan balasan Jiyeon yang menatapnya tajam di tempat pencucian piring.

"What?!"

"Besok jangan diteruskan biaya sewa apartemenmu untuk bulan depan. Setelah habis bulan ini kau pindahlah ke sebelah. Lagian kalau kau balik lagi ke rumahmu, aku pasti dilarang Jimin mati-matian untuk tidur satu kamar denganmu."

"Kau tidak perlu sampai membeli apartemen atas namaku."

"Aku perlu, dan memang seharusnya. Kau sudah 18 tahun, Sayang. Dan kau juga memasuki kehidupan pria dewasa."

Entah di bagian mana dari ucapan Jungkook yang terdengar sedikit vulgar menurut Jiyeon. Tapi gadis itu memilih tenang dan melanjutkan cuci piringnya.

Selang beberapa menit hening tanpa pembicaraan. Jiyeon merasakan lengan kokoh Jungkook pada perutnya. Memeluknya posesif dari belakang.

Hembusan napas hangatnya menyapu permukaan leher Jiyeon. Membuat Jiyeon meremang.

"Jungkook, geli." Protes Jiyeon saat bibir lembab dan panas Jungkook mengecup disertai jilatan pada leher putihnya.

"Kenapa kau tidak pernah memanggil ku oppa?" tanyanya dengan suara parau dan kini tangan Jungkook dengan berani mengusap perut datar Jiyeon.

"Dulu aku berpikir kalau memanggilmu oppa, kau semakin menganggapku anak kecil."

Jungkook terkekeh mendengar kejujuran gadisnya. "Tapi kau memang masih kecil, Sayang."

"Ck! Lidahku sudah terbiasa memanggil namamu dari pada oppa."

"Tidak masalah, Child. Aku suka bibirmu menyebut namaku. Tapi saat kau mengatakan oppa terdengar lebih seksi di telingaku." Desahnya mengigit kecil daun telinga Jiyeon.

"J-Jungkook—–"

"Ssstttt ... aku akan mengajarimu sesuatu."

"Hmm?"

NINE✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang