Sekiranya Jiyeon masih berbaik hati untuk membiarkan Jungkook berbaring di ranjang miliknya hanya untuk sementara waktu. Awalnya demikian. Namun, penolakan halus dari sang dominan membuat Jiyeon enggan memaksa. Sebab, dirinya pun tak ingin berharap lebih.
Maka, mereka berakhir terduduk di sofa ruang tengah apartemen Jiyeon. Terduduk dalam penuh keheningan; kehampaan dan kesunyian. Atmosfir yang sangat Jiyeon benci lantaran terasa mencekik dada. Sesekali Jiyeon mengulum bibir dan berpikir dalam diam untuk merangkai kata-kata yang tepat dikeluarkan.
Sebab, berbagai pertanyaan bercokol dalam benaknya akan keadaan Jungkook sekarang yang terlihat kacau sekali.
Apa yang terjadi?
Kenapa dengannya?
Kemana ia selama ini?
Selang beberapa menit lamanya durasi waktu yang hanya di isi oleh keheningan semata, pun Jungkook lekas bersuara. Menyentakkan Jiyeon dalam lamunan. Semula tertunduk—memilih menatap marmer yang menjadi daya tarik tersendiri. Tapi, kalimat Jungkook berikutnya membuat Jiyeon lekas mengangkat wajah. Tercekat dan membeku.
"Maaf, maafkan aku."
Jiyeon memilih diam. Menatapnya dengan kening berkerut bingung. Sebab, tidak mengerti arti dari pernyataan tersebut.
"Maafkan aku, Ji. Maafkan aku yang pengecut ini." Jungkook menjeda seraya terkekeh miris, hidungnya bahkan terasa basah. "Aku pengecut, terlalu pengecut untuk dapat disebut sebagai lelaki sejati."
"Jungkook ... " Jiyeon bersuara lirih. "Apa yang—"
"Aku mencintaimu."
Kalimat Jiyeon tertelan kembali saat Jungkook menyela cepat. Aksennya terdengar pilu, namun memberikan getaran luar biasa bagi Jiyeon hingga ia terdiam.
Lekas Jiyeon mendengus ringan seraya berujar penuh penekanan—sebab, tak ingin lagi tersakiti untuk kesekian kalinya.
"Kau mabuk, Jungkook."
"Tidak. Aku tidak mabuk."
"Tidak. Kau mabuk." Jiyeon tetap bersikeras. "Buktinya kau membual."
"Ini bukan bualan, Ji. Aku bersungguh-sungguh—"
"Berhenti menyakitiku."
Pun Jungkook menjeda, berhenti menyanggah. Nyatanya kepercayaan Jiyeon sudah tidak ada lagi bersisa untuknya.
Air mata menggantikan semua kata yang tidak terucap dari relung hati paling dalam. Bentuk kalimat apapun yang akan Jungkook ucapkan demi meyakinkan sang jelita dirasa akan percuma lantaran Jiyeon tidak bisa lagi percaya.
Sesak menikam dada hingga suasana hening pun begitu mencengkik mereka berdua.
Enggan memulai konversasi karena pembahasan yang sebisa mungkin harus dihindari.
Jiyeon yang tidak ingin tersakiti dan Jungkook yang mulai frustasi ingin membawa kembali hati yang telah pergi.
Bagaimana caranya agar Jiyeon mengerti?
"Aku tidak ingin kau membuka lukaku lagi," lirih Jiyeon dan isakan yang tidak dapat di tahan.
"Jiyeon, kau boleh memakiku, kau boleh pukul aku semaumu walaupun itu masih belum bisa menebus kesalahanku selama ini padamu." Mata tajam Jungkook pun penuh penyesalan yang mendalam. Jungkook yang angkuh pun menangis untuk pertama kalinya di hadapan seorang gadis. Iya—–seorang gadis yang terus menerus dianggap seorang bocah olehnya.
Seorang gadis yang diam-diam telah mencuri hatinya entah sedari kapan pun Jungkook tidak sadar. Pria yang tidak percaya akan cinta kini menderita karena tingkah kurang ajarnya. Memberi luka pada hati yang memberinya cinta.