"Itu bukan anak Jungkook!" Akhirnya Jiyeon bisa mengeluarkan suara setelah lama terdiam dengan segala pertentangan dalam dirinya. Hatinya masih memiliki secercah harapan untuk meyakini Jungkook tidak mungkin mencurangi."Ini anaknya!" Jieun bersikeras dengan air mata yang makin berderai.
"Dia bersamaku, selalu menempel hingga aku kekurangan ruang untuk diriku sendiri! Itu tidak mungkin anaknya!" ucap Jiyeon tetap mempertahankan asumsinya.
Sekelebat ingatan tentang percakapan Jungkook saat di Greece bersama Jiyeon dengan seseorang yang menelponnya pun menampar kesadaran Jiyeon.
Jungkook hanya terdiam, dan Jiyeon benci dengan kediaman prianya. Setidaknya Jungkook harus melakukan bantahan. Hanya dengan sebuah bantahan sekiranya bisa mempertahankan kewarasan Jiyeon untuk bertahan pada hati yang telah hancur tanpa bersisa. Terlalu menggenggam cinta hingga ia lupa mencari gapaian lain agar tidak tergelincir membawa hati yang terluka.
Sesak tak kunjung reda kala kebisuan Jungkook semakin membuatnya gila. Jiyeon butuh udara, lehernya seperti tercekik oleh tangan tak kasat mata.
Jiyeon harusnya marah, seharusnya murka dan melampiaskan dengan berbagai cara. Memaki, berteriak hingga melakukan berbagai hal agar amarah serta kecewa yang menggumpal di dada terbuang lega.
Tapi yang dia lakukan hanyalah terus percaya jika Jungkook hanya mencintainya. Untuk mengeluarkan air mata pun Jiyeon lupa caranya.
Hingga Jiyeon merasakan sentuhan lembut pada lengannya. Boram menatapnya penuh air mata. Tidak—Jiyeon tidak akan sanggup menerima.
Kakinya bergerak begitu saja, membawa tubuhnya keluar dari situasi yang menghancurkan dunianya. Menuli ketika beberapa suara meneriaki namanya. Disusul dengan beberapa langkah kaki yang mencoba mengejarnya.
Jiyeon tidak peduli lagi. Hatinya telah mati. Ia hanya perlu pergi sejauh mungkin hingga langkahnya dipaksa berhenti saat lengannya dicengkeram begitu kuat dan menyentak tubuhnya agar berbalik.
Namjoon yang menyusulnya. Dengan napas yang sedikit terengah dan tatapan mata serat akan luka. Tapi kenapa?
Raut wajah kosong Jiyeon memberi cubitan untuk hati Namjoon. Setidaknya ada air mata di hazel indah milik Jiyeon, setidaknya gadis itu memaki dan mengumpat seperti biasanya. Seharusnya Jiyeon begitu agar Namjoon mengerti kalau Jiyeon tengah dibendung amarah.
"Jiyeon—"
"Kiss me," pinta Jiyeon dengan tatapan datarnya.
"Jiyeon. Aku mengerti kau sedang—"
"Kiss me! Please!" Nada Jiyeon mulai memohon.
Ia hanya butuh melepaskan untuk rasa sesaknya.
Namjoon tak lagi mendengar suara kala bibir Jiyeon hanya bergerak dan jelas terbaca oleh mata kecil Namjoon ''please".
Maka, kedua telapak tangan besar itu pun menangkup wajah sang dara, membuatnya mendongak demi menyambut bibir Namjoon pada permukaan bibir tipis milik Jiyeon.
Kedua pasang netra itu memejam saat ranum mereka saling bertemu. Mengecup dan memberi pijatan hingga mulai terbuka untuk beberapa lumatan. Saling mengisap dengan ritme berantakan. Ciuman putus asa dan kecewa yang kian membara. Bentuk pelepasan yang membuat satu hati merasakan luka lantaran yang ada di hadapannya melakukan tanpa balasan cinta. Hanya sebuah pelampiasan rasa sesal yang bergumul dalam dirinya.
Sepasang netra yang terlanjur melihat pemandangan menyakitkan itu pun enggan melanjutkan langkah. Hatinya yang kacau ingin berteriak penuh murka. Seolah menentang dunia karena telah berbuat tidak adil untuk hati dan cintanya yang tengah terluka di sana. Ia sadar jika gadisnya terluka dan tidak bisa ditampik jika Jungkook lah yang memberikannya. Sedari dulu Jiyeon terus menerus menerima luka darinya.