Separuh jiwanya seolah ditarik paksa untuk lekas lenyap dari peradaban. Sementara keseluruhan otaknya kosong melompong layaknya orang dungu.Jungkook merasa kehilangan arah. Berkali-kali merutuki diri sendiri dengan meneguk segelas vodka tiada henti. Menyesapi cairan tajam itu dan merasakannya mengaliri kerongkongan hingga menuju lambung. Bahkan Jungkook nyaris membunuh seluruh organ tubuhnya dengan menenggak minuman kotor tersebut setiap per detiknya. Mengesampingkan resiko yang akan ia terima lantaran kehidupannya mulai terlihat pedih.
Ah, sudah berapa lama, ya. Sepasang rungu Jungkook bahkan mulai menuli tatkala terasa hening dan hampa.
Sebab, barangkali ia begitu amat merindukan celotehan gadis manis yang ia anggap bocah. Eksistensinya menurut Jungkook tak lebih seperti remaja-remaja pada umumnya. Labil, dan keras kepala.
Iya, keras kepala.
Nyatanya, seorang Park Jiyeon mampu membuat Jungkook hancur berkeping-keping dengan isi kepala yang berkecamuk abstrak.
Bibirnya menguarkan kekehan miris. Menertawakan diri sendiri.
Apakah ini karma untukku?
Terlalu angkuh untuk mengakui bahwa hatinya mulai merasa hampa saat Jiyeon meninggalkan dirinya dengan membawa luka.
Dan tentu saja Jungkook penyebabnya.
Kalimat sampah yang terakhir kali ia ucapkan pada Jiyeon seperti belati bermata dua yang menikam Jiyeon sekaligus menikam Jungkook.
Pengecut! Bersembunyi di balik kalimat menyakitkan yang terucap dari bibir tipisnya.
Enggan mengakui kalau hatinya terbakar api cemburu melihat sang gadis terlihat baik-baik saja bersama pria lain. Bahwa Jiyeon mulai bisa menerima kehadiran orang baru di hidupnya. Bahwa Jiyeon tidak keberatan melakukan kontak fisik dengan pria selain Jungkook.
Dan Jungkook tersadar jika Jiyeon lebih tersiksa dari yang Jungkook alami saat ini. Sembilan tahun lamanya diabaikan bahkan Jungkook dengan sengaja memperlihatkan kemesraannya dengan wanita lain di hadapan Jiyeon.
Bajingan!
Bagaimana cara kau membayangkan yang dilalui Jiyeon selama ini?
Dan semua rasa bersalah itu yang menahan Jungkook di sini. Merusak diri karena dibayangi rasa sesal yang tak berujung.
Memang benarkan? Penyesalan datang terlambat.
Seharusnya yang Jungkook lakukan adalah berlutut untuk meminta maaf pada Jiyeon. Bahkan jika perlu Jungkook harus menerima beberapa pukulan dari Jiyeon untuk menebus kesalahannya.
Tapi rasa bersalah yang teramat besar menahannya di tempat ini. Memilih sekarat agar bajingan sepertinya tidak melakukan satu kesalahan lagi pada sang gadis.
"Maafkan aku ... maafkan aku ... aku sangat menyesal ... aku mohon maafkan aku.." lirihnya dengan mata terpejam. Air mata pun mulai turun mengaliri batang hidung dan pipinya. Menopang keplanya di atas meja bar.
"Maafkan aku ... aku—mencintaimu."
Bartender pun tidak bisa melakukan hal lebih selain diam. Pelanggan setia yang kurang lebih dua minggu ini selalu membiarkan dirinya dipengaruhi alkohol dan semakin lama semakin hancur.
••
Waktu terus bergulir layaknya putaran hukum alam yang tiada henti. Pun semakin lama, Jiyeon semakin menyadari bahwa ia telah kehilangan sesuatu. Teramat sangat mengganjal sekali dalam relung parunya. Dan Jiyeon merasa tidak terbiasa akan tidak hadirnya eksistensi tersebut.