👣06

9.2K 1.1K 86
                                    


Sudah dua hari berlalu sejak Jiyeon mengakhiri kisah cinta pertamanya. Dan sudah dua hari pula Jiyeon tidak masuk sekolah.

Pintu kamarnya dikunci dan Jimin pun menggila mendapati sang adik keras kepala menutup diri dari siapapun termasuk Hoseok yang bagaikan alat pernapasan keduanya.

"Park Jiyeon! Kalau kau tidak keluar sekarang juga! Aku pastikan kau pindah ke Miami Minggu depan!" Ancamnya yang masih diabaikan oleh Jiyeon.

Itu satu-satunya cara yang terbaik dari yang terbaik sekarang. Mengirim Jiyeon untuk tinggal bersama orang tua mereka di Miami dan melanjutkan sekolah di sana.

Tapi sang adik pun tetap tidak bergeming, seolah ancaman yang lebih tua tidak membuatnya takut sama sekali.

Jimin hampir menyerah dan akan melangkah turun ke lantai bawah membawa kembali nampan berisi makanan untuk Jiyeon. Bunyi putaran kunci pada pintu kamar membuat Jimin berbalik dan mendekat ke kamar Jiyeon.

Gadis itu membukanya sedikit, setengah wajahnya terlihat dari celah pintu yang terbuka.

Terlalu pucat dengan mata sembab. Itu yang tertangkap oleh netra Jimin pertama kali.

Lantas Jimin mendorong pintu dan melangkah masuk ke kamar Jiyeon. Gadis itu langsung duduk di ranjang. Pergerakannya lemah tanpa gairah hidup sedikitpun.Melihat itu, Jimin hanya menarik napas dalam dan menghembuskannya kembali.

"Padahal sudah kubilang untuk melakukannya sejak awal," tutur Jimin ikut mendudukan diri di atas ranjang. Nampan diletakkan di hadapan sang adik yang menatap makanan tanpa minat sedikitpun.

Mengambil ikat rambut di atas nakas. Tangannya bergerak menyisir surai panjang milik Jiyeon, mengumpulkannya menjadi satu di belakang kepala dan menguncirnya.

"Makanlah, setelah itu baru kita bicara," titah Jimin.

"Aku tidak lapar, Oppa."

"Ini sudah dua hari Jiyeon. Makan!"

Memang dasar Jiyeon keras kepala, sedang patah hati dan tidak bertenaga pun masih saja bebal.

Lekas, Jimin mengambil makanan dari nampan, menyendok dan menyuapi sang adik. Dengan malas pun Jiyeon membuka mulutnya. Memaksa makanan yang disuapi oleh Jimin masuk kedalam perutnya.

Jiyeon mengangkat tangannya pada suapan ketiga. Isyarat agar Jimin berhenti menyuapinya. Perutnya tidak bisa di isi sama sekali. Melilit dan serasa akan memuntahkannya kembali.

"Ya sudah, yang penting perutmu sudah terisi sedikit," ucap Jimin mengalah.

Bagaimanapun kesalnya ia sekarang, Jiyeon dalam kondisi seperti ini tidak bisa dikerasi. Dan ini pertama kalinya bagi Jimin. Ia lebih suka Jiyeon yang melakukan hal sinting dan selalu positif.

Melihat Jiyeon yang lemah dan rapuh seperti ini cukup mencubit hatinya yang paling dalam.

Selama ini Jimin tahu bagaimana bebalnya Jiyeon dalam obsesinya mendapatkan Jungkook. Dan sekarang keadaan berbalik 180 derajat. Jiyeon menyerah dan perlahan menghancurkan dirinya.

"Kau mau ke Miami? Paling tidak sekedar liburan kalau kau tidak mau menetap di sana," ajak Jimin.

Jiyeon pun menggeleng lemah. "Aku akan ke sekolah besok. Tenang saja, Oppa. Aku sudah lebih baik."

Maka dari itu pun Jimin mengangguk seraya tersenyum. Mengusak surai caramel Jiyeon dan berkata, "Aku akan antar ke sekolah besok. Sudah lama sekalikan aku tidak mengantarmu."

Jiyeon memaksa senyumnya meskipun gagal.

"Ajak Hoseok juga. Dia kelihatan hampir gila tidak bisa menemuimu selama dua hari."

NINE✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang