Menyaksikan perpisahan kakak kelas, terbesit dalam pikiranku, 'Wah, nggak kerasa, tahun depan giliran aku yang disana.' Aku melihat semua siswa-siswi yang bersalaman dan diberikan medali berlogo sekolah, benar-benar terharu rasanya.Semua siswi perpenampilan anggun dengan kebaya yang mereka pakai, siswa kelas dua belas pun tak kalah menarik dengan jas dan terlihat gagah. Mata ini mulai menyoroti seorang perempuan berpenampilan beda dari yang lainnya.
Dahiku semakin mengkerut dan hatiku tak percaya, ketika pembawa acara menyebutkan namanya. "Muslimah Ineke Ardila, siswi kelas dua belas IPA satu."
'Ya Allah, itu Teh Ineke?' batinku yang merasa heran.
Teh Ineke terlihat beda, tak menggunakan kebaya, ia berpenampilan sangat sederhana tanpa make up yang mengihasi, justru wajahnya tertutup oleh secarik kain, yaitu cadar.
'Wah, kayaknya Teh Ineke udah masuk aliran islam garis keras nih. Ya Allah, aku jangan sampai kayak gitu. Jangan-jangan masuk sindikat teroris lagi!' Perasaanku mulai berkecamuk tak terarah.
"Astaghfirullah... Resty jangan su'udzon," kataku sambil mengelus dada.
***Setelah menghabiskan waktu liburan kenaikan kelas. Akhirnya, aku resmi menjadi siswi kelas dua belas, menjadi kakak kelas tertua di sekolah ini, tentunya aku harus jadi contoh yang baik untuk para adik kelas.
Di kelas tiga SMA ini, tidak banyak teori seperti tahun lalu, kami diminta untuk fokus dengan kegiatan praktikum. Salah satu yang berkesan adalah mata pelajaran Agama Islam, beruntungnya aku bisa kembali bertemu dengan Ibu Tri Bhakti sebagai guru mata pelajaran Agama Islam.
"Selama satu semester ini, Ibu mau memberikan tugas hafalan surat-surat pendek. Semua siswa dan siswi wajib setoran dan karena murid kelas dua belas ini banyak. Ibu butuh asisten. Sampai di sini, ada yang ditanyakan?" ungkap Ibu Tri.
Aku melihat salah seorang teman mengangkat tangannya. "Iya, Hilda... Silakan mau bertanya apa?" ujar Ibu Tri.
"Maaf, Bu. Saya izin bertanya. Maksud dari ibu butuh asisten, itu bagaimana maksudnya?" ujar Hilda.
"Jadi, siapa yang paling cepat menyetorkan hafalan kepada Ibu dan bacaannya cukup bagus, maka dia pantas menjadi asisten dan bisa disebut dengan Tutor. Terus, nanti tugas tutor adalah menerima dan menyimak setoran hafalan dari teman-teman yang tidak menjadi tutor. Bagi siswa-siswi yang tidak menjadi tutor, silakan setorkan hafalannya hanya kepada tutor. Nanti, ibu tinggal menerima laporan dari para tutor saja," jelas Ibu Tri.
Pengumuman tersebut membuatku lebih sering mendengarkan murottal daripada menikmati alunan musik. Setiap pagi, sore, juga malam hari kusimak dengan baik suara merdu Syekh Misyari Rasyid, terasa beda saat aku mendengarkannya. Hati ini lebih tenang dari sebelumnya dan tak terasa ayat demi ayat melekat begitu saja dalam otakku, seolah selalu terngiang di telingah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cadarku BUKAN Teroris [TELAH TERBIT]
Fiksi UmumBerawal dari pindahnya Resty di sekolah baru, mantan gadis tomboi itu menemukan teman hijrah. Sejak itu, ia berusaha menyempurnakan pakaian agar auratnya tertutup. Ia mantap berpakaian syar'i atas tekad dan ilmu dari guru. Setelah menutup aurat, ia...