Sejak aku memutuskan untuk berhijrah, kondisi pertemananku tak seperti sebelumnya. Dulu aku sangat dihargai, dihormati dan dicintai. Sekarang, entah teman mana yang menghargai aku, teman mana lagi yang benar-benar menyayangi juga mencintai aku?Aku merasa, diri ini begitu asing. Sejak aku memilih jalan dakwah, banyak sekali yang membenciku. Tapi, hal itu tak membuatku menyerah untuk meneruskan perjalanan hijrah. Semakin hari, sepertinya aku semakin tak dibutuhkan, terlalu banyak orang yang tidak menghargai aku.
Hingga aku selalu meminta kepada Allah, agar dijadikanlah aku orang yang penting di kampus ini, sehingga tak sedikit dari mereka membutuhkanku. Lalu benar saja, Allah mengabulkan doa serta keinginanku, Allah menjadikan aku seorang yang dibutuhkan yaitu menjadi Presiden Mahasiswa.
Namun, ketika tiba saatnya aku menjadi Ketua BEM, semakin banyak ejekan demi ejekan, fitnah demi fitnah yang datang menghampiri masa hijrahku ini. Mereka menyebutku selalu mencari perhatian karena aku sering pingsan di kampus. Di sini aku merasa bahwa Allah sangat menyayangi aku, menunjukan dengan cara menguji kesabaran, aku merasa bahwa Allah ingin melihat seberapa Istiqomah aku dalam menjalani masa hijrah.
Di masa ini pula aku mulai merasa semakin dekat dengan-Nya. Hanya Allah yang selalu menemani langkahku, hanya kitab-Nya yang selalu membantu menenangkan aku dalam suasana apapun.
Hanya dia yang selalu menemani, teman disaat aku sedang berada dalam kegelapan. Satu-satunya yang selalu menerangi jalan hidup. Temanku itu mampu menasehati tanpa aku minta, mampu menuntun disaat aku tak tentu arah. Tanpa minta, ia selalu bercerita tentang dirinya, tentang penciptanya dan tentang para Rasul, bahkan semua cerita yang tak pernah aku tahu, dia mampu menceritakannya.
Temanku saat ini hanyalah Al-Qur’an,
sungguh aku merasa kesepian jika tak mengingat Allah, sangat merasa terasingkan jika berada bersama teman-teman di lingkungan kampus.
***
Dalam keadaan seperti ini, aku menceritakan satu hal kepada sahabat kecilku.
"Apakah kamu ingat dulu? kita pernah bermimpi bahwa ketika besar nanti, saat aku atau kamu kuliah. Aku ingin, kita menaiki sepeda bersama lagi, menyusuri desa kita ini" tururku.
Saat itu temanku hanya menganggukan kepala dan aku menangis dihadapannya, ingin rasanya menceritakan tentang semua yang tengah aku rasakan, apa yang aku alami di kampus dengan teman-teman.
Teman kecilku berkata, "Jangan nangis lagi Resty. Kamu wanita yang kuat juga hebat. Aku percaya, kamu bisa melewati ini semua. Kamu harus ingat, aku akan selalu menjadi sahabatmu sampai kapanpun. Walau aku kehilangan sosok tomboimu,"
"Tenang saja, kamu hanya kehilangan sosok tomboi karena penampilanku berubah. Tapi, aku akan tetap menjadi Resty, sahabatmu yang bawel," ungkapku.
Temanku terkekeh dan berkata, "Gitu dong, jangan pikirim sikap mereka. Mana Resty yang dulu? Kalau ada orang yang nggak suka, langsumg labrag! Sekarang, udah hijrah mah, jangan labrag, tapi doain aja biar sadar yah, Ustadzah,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Cadarku BUKAN Teroris [TELAH TERBIT]
Fiksi UmumBerawal dari pindahnya Resty di sekolah baru, mantan gadis tomboi itu menemukan teman hijrah. Sejak itu, ia berusaha menyempurnakan pakaian agar auratnya tertutup. Ia mantap berpakaian syar'i atas tekad dan ilmu dari guru. Setelah menutup aurat, ia...