Hijrah sudah kulakukan dan kini berhasil berada dalam tahap hamasah, maka selanjutnya harus mulai belajar untuk menikmati masa hijrahku.Menikmati pahitnya segala rintangan yang kelak ada di hadapan dan segala cobaan untuk menentukan siapa aku sebenarnya? Sang Muhajir yang akan kembali menjadi 'Gadis Biasa' penuh dengan ketidaktahuan, atau seoarang 'Mujahidah Pembela Islam' yang terus berjuang untuk berdakwah melawan segala rintangan yang ada.
'Hidup Mulia atau Mati Syahid.'Cobaan ini berawal dari keluarga terdekat, ketika aku sedang menyapu halaman rumah. Seseorang yang pernah mengasuhku waktu kecil, duduk bersama saudariku.
Beliau berkata, "Dek, kamu nyapu pakainnya kok, kayak gitu, sana ganti! Ribet enggak? Gerah juga, kan, pasti? Kakak yang ngelihat itu ribet sendiri," ujar Beliau.
"Ihh enggak, Kak. Justru, ini kewajiban aku sebagai wanita muslim. Yuk, Kakak pakai hijab juga, Kakak kan, perempuan muslim, hehe," ujarku.
Namun yang terjadi, saudariku tersinggung dengan apa yang aku katakan. "HEH...! Emang kamu pakai kerudung udah pasti masuk surga HAH? Ngaca kamu tuh, sebelum ngomong kayak gitu, seharusnya introspeksi diri dulu. Apa diri kamu sudah benar? Baru pakai kerudung panjang gitu aja, udah sok-sokan nyeramahin orang. Urus aja diri kamu sendiri tuh," ungkap beliau.
Beberapa keluarga dan tetanggaku menganggap apa yang aku pakai ini adalah sebuah tren mode. Tapi, aku berpakaian seperti ini bukan karena ingin mengikuti trend hijab syar'i.
Karena aku ingin menunjukan kepada mereka bahwa aku benar-benar ingin berhijrah, maka, aku harus bertahan dengan semua ini terutama saat mendengarkan ucapan yang serupa, aku harus siap untuk mulai menikmati masa hijrah karena Allah ini.
***Memasuki kampus baru, tentunya harus bertemu juga dengan orang-orang baru. Aku berharap, di kampus ini menemukan teman hijrah. Tapi, pada kenyataannya tak ada yang berpakaian sama denganku di sini.
"Eh, nama kamu siapa?" tanya seorang perempuan imut.
"Namaku Resty, kalo kamu?" balasku
"Nama aku Erun. Resty, kamu pakai kerudung panjang gitu nggak gerah?" tanya Erun sembari berkaca.
"Enggak, kok. Malahan aku ngerasanya adem," sahutku.
"Kamu pakai kerudung dari kapan? Kalo aku mah, jujur aja, pakai kerudung baru sekarang, paling dulu itu, kalau pakai kerudung pas sekolah." Erun menjelaskan singkat.
Mendengar jawaban Erun membuatku tercengang. Aku yang baru hijrah saja menyesal berkepanjangan kenapa tidak dari dulu berhijrah? Tapi, ternyata masih ada yang baru menutup auratnya, itu pun kerena tuntutan institusi.
Perkenalaan singkat di toilet dengan Erun ternyata membuat aku ingin berteman dengannya lebih dekat. Tapi pada kenyataannya walau kami satu kelas, kami berbeda. Mungkin memang Erun tidak ditakdirkan menjadi sahabat hijrahku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Cadarku BUKAN Teroris [TELAH TERBIT]
Ficção GeralBerawal dari pindahnya Resty di sekolah baru, mantan gadis tomboi itu menemukan teman hijrah. Sejak itu, ia berusaha menyempurnakan pakaian agar auratnya tertutup. Ia mantap berpakaian syar'i atas tekad dan ilmu dari guru. Setelah menutup aurat, ia...