Sejak pamit dari rumah Teh Muslimah, bahasa tubuh Miftah menunjukan, bahwa ada sesuatu yang terjadi atau sedang ia pikirkan. Bukan maksud ingin mencampuri masalah pribadinya, sebagai teman, aku hanya ingin memberi kenyamanan untuknya.
'Kayaknya butuh curhat, nih anak,' batinku."Eh, Mif. Nanti kalau ada masjid, kita berhenti dulu aja, yah. Sekalian sholat asar, bentar lagi juga adzan," ujarku.
Miftah mengangguk. "Sip!" sahutnya.
***
Sampai di Masjid, aku dan Miftah duduk di teras. Terlihat ada tukang bakso, aku pesan untuk kami berdua.
"Mau bakso, apa mie ayam, Mif?" tanyaku.
"Bakso aja," balas Miftah.
"Aku ke sana dulu, ya. Mau pesan baksonya," ujarku.
"Nggak usah, udah ngomong dari sini aja," kata Miftah.
"Eh, nggak sopan, Mif." Aku mengelak.
"Jarak cuma satu meter doang, Ya Allah Resty!" sahut Miftah.
"Mang, mau bakso, ya, dua. Sambal sama saus dipisah," ujar Miftah pada abang tukang bakso.
Aku pun, kembali duduk di samping Miftah. "Kok, udah kelihatan seger lagi mukanya?" tanyaku.
"Emang kapan aku layu?" balas Miftah.
"Dari tadi, kamu kayak banyak masalah gitu!" ujarku.
"Bukan banyak masalah, Ty. Itu, loh. Aku mikirin kata-kata si teteh yang tadi, tentang cadar," ungkap Miftah.
"Loh, kenapa emangnya?" tanyaku.
"Aku kayak tertampar gitu, Ty. Selama ini, otak aku selalu berpikir, kalau cadar itu budaya Arab, orang-orang yang fanatik sama agama, yang nggak percaya sama madzhab, aliran sesat dan lain sebagainya. Tapi, aku ditampar sama Allah, lewat perkataan-perkataan teteh yang tadi itu. Aku ngerasa jadi manusia paling sok tahu!" ungkap Miftah.
"Kenapa? Kok, manusia paling sok tahu?" tanyaku heran.
"Gimana nggak sok tahu, waktu kamu nanya ke aku tentang cadar, aku jawab kalau cadar itu budaya Arab. Tapi, memang ustaz aku yang bilang begitu Resty. Cuma, aku nggak mau, guru aku terlihat miskin pengetahuan. Bisa jadi, ustaz juga seperti aku yang nggak pernah punya teman bercadar dan nggak pernah sosialisasi langsung dengan orang bercadar. Jadi, pikirannya udah ketanam, cadar budaya Arab, cadar ekstrem, cadar sesat dan lain sebagainya." Miftah bercerita dengan nada yang sangat cepat, nyaris tak ada bedanya dengan gaya bicaraku.
Padahal, selama ini, aku melihat Miftah tergolong gadis yang biasa saja, tidak pendiam, juga tidak seperti aku yang bawel dan suka ngomong.
"Resty, gimana caranya aku minta maaf sama orang-orang bercadar, yang selama ini aku sinisin?" tanya Miftah, panik.
"Lah, aku sendiri nggak tahu, siapa aja orang yang kamu sinisin? Udah, sekarang mah, buat nebus rasa bersalah kamu, rubah aja semua pikiran jelek dan keliru tentang cadar itu. Sekarang, jangan sungkan untuk berinteraksi dengan wanita bercadar," ujarku.
Miftah mengangguk dan tersenyum. "Makasih, ya, Resty. Kamu udah mau temanan sama aku. Padahal aku bodoh!" ungkap Miftah.
"Eh, ngomong apa sih, kamu. Aku yang makasih sama kamu, udah mau temenan sama aku, padahal aku bukan santri," ujarku.
"Bukan santri, tapi anak ustaz! Lebih dari santri!" celetuk Miftah.
"Bukan orang tua kandung aku!" balasku.
Di tengah obrolan kami, datanglah abang tukang bakso, membawa dua mangkuk pesanan kami. "Ini, Neng," ujar beliau menyuguhkan pesanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cadarku BUKAN Teroris [TELAH TERBIT]
General FictionBerawal dari pindahnya Resty di sekolah baru, mantan gadis tomboi itu menemukan teman hijrah. Sejak itu, ia berusaha menyempurnakan pakaian agar auratnya tertutup. Ia mantap berpakaian syar'i atas tekad dan ilmu dari guru. Setelah menutup aurat, ia...