Setelah mendapat jawaban sendiri, bahwa cadar bukanlah budaya Arab. Aku ingin memastikan kalau memang cadar adalah bagian dari syariat. Hari ini aku ingin pergi menemui Teh Muslimah di kediamannya.Aku menghubungi Miftah, memintanya mengatar ke rumah Teh Muslimah.
Resty: Assalamu'alaikum, Mif. Ada kuliah enggak hari ini?
Beberapa saat kemudian, ponselku bergetar, terlihat ada balasan pesan dari Miftah.
Miftah: Nggak ada kuliah, Ty. Kenapa gitu?
Resty: Antar aku ke Kuningan. Mau enggak?
Miftah: Boleh. Tapi aku izin umi pondok dulu yah, Ty. Kalau nggak diizinin, yah maaf.
Resty: Iya, nggak apa-apa. Aku tunggu yah kabarnya. Kalau dapet izin, aku jemput kamu di pondok.
Sementara menunggu balasan dari Miftah, aku bersiap-siap, tak lupa membawa buku doraemon pink untuk mencatat, jika ada hal penting yang disampaikan Teh Muslimah.
Setelah beberapa saat kemudian, aku mendapat kabar bahwa Miftah diizinkan untuk keluar sebentar dari lingkungan pondok. Aku pun bergegas menjemputnya dan pergi ke rumah Teh Muslimah.
***Perjalanan yang ditempuh dari rumah ke pesantren Miftah, sekitar tiga puluh menit. Sedangkan jarak dari pondok ke rumah Teh Muslimah sekitar satu jam. Setelah kurang lebih 1 jam perjalanan, akhirnya sampai juga di rumah Teh Muslimah.
Kami disambut dengan baik oleh Teh Muslimah. Terlihat ada anak perempuan yang sudah cukup besar, berdiri di samping Teh Muslimah.
"Siapa ini, Teh?" tanyaku.
"Ini anak Teteh," ungkap Teh Muslimah. "Salim sama 'Ammah, Nak." Teh Muslimah meminta anaknya untuk salim kepada kami.
Anak itu pun mencium punggung tanganku juga Miftah. "Maaf, Teh. Katanya, Teteh belum punya anak ?" tanyaku heran.
"Teteh kan, Ta'adud, Neng. Ini anak dari istri yang pertama," ujar Teh Muslimah.
Miftah tercengang mendengarnya, sedangkan aku cukup merasa bingung, karena tak mengerti dengan kata Ta'adud. 'Oh, mungkin udah cerai kali, sama istri pertamanya. Terus nikah lagi sama teh Muslimah,' batinku.
"Gimana, Neng? Gamis-gamis Teteh yang kemarin, sudah pada laku?" tanya Teh Muslimah.
"Alhamdulillah, Teh, laku. Tinggal manset aja beberapa lagi. Oh iya, ini sekalian mau setor uang penjualan gamis yang kemarin." Aku membuka tas dan mengeluarkan dompet juga buku catatan.
Setelah urusan muamalah selesai, aku segera bertanya tentang tujuan inti berada di rumah ini. Sementara, Miftah hanya duduk di sampingku sembari melihat-lihat barang dagangan Teh Muslimah.
"Teh, Resty mau nanya, boleh?" tanyaku.
"Boleh, atuh. Emang mau nanya apa?" balas Teh Muslimah.
"Tentang agama, Teh. Nggak apa-apa?" tanyaku lagi.
"Yah, nggak apa-apa atuh, Neng," ujar Teh Muslimah.
"Gini, Teh. Resty itu nggak punya teman yang pakai cadar, selain Teteh. Ada, sih, teman di kajian. Tapi, nggak sedekat ini, jadi Resty mau nanya tentang cadar sama Teteh aja," ujarku.
"Oh... Boleh. Boleh banget, sok nanya apa?" ungkap Teh Muslimah.
"Maaf, ya, Teh. Kalau Resty lancang. Teteh, kenapa pakai cadar?" tanyaku.
"Hehe, Resty nanya kenapa Teteh pakai cadar?" tanya Teh Muslimah memastikan.
Aku pun mengangguk. "Iya, Teh," sahutku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cadarku BUKAN Teroris [TELAH TERBIT]
Ficción GeneralBerawal dari pindahnya Resty di sekolah baru, mantan gadis tomboi itu menemukan teman hijrah. Sejak itu, ia berusaha menyempurnakan pakaian agar auratnya tertutup. Ia mantap berpakaian syar'i atas tekad dan ilmu dari guru. Setelah menutup aurat, ia...