06. air mata

1K 131 13
                                    

Bukannya ucapan penuh sayang, senyum manis dan pelukan yang hangat Aretha dapatkan saat dia pulang, ucapan ketus, tatapan sinis yang diterimanya.

Salahkah bila dia ingin sebuah kehangatan keluarga seperti teman-temannya yang lain?

"Eh, adek udah pulang dari kerkomnya." Satria langsung menghampiri adik perempuannya yang sedang berdiri.

Aretha mengangguk, tersenyum kecil memandang abangnya. "udah malam nih, gih tidur sana besok sekolah kan."

Satria yang selama ini selalu ada untuknya. Saat orang tua mereka meminta Satria untuk ikut pindah ke paris, abangnya menolak demi dirinya.

"Apa kamu bilang? Kerkom sampai malam begini, mana ada!" ucapan lelaki tersebut terselip kemarahan. Dia tidak lain adalah Dimas Aji Raditya, kepala keluarga dirumah ini.

"Pa, adek juga kerkomnya dirumah Prisil. Gak jauh kok, abang juga yang antar tadi."

Aretha memandang abangnya yang berada disampingnya. Selalu membela dia terus menerus, selalu ada disampingnya.

"Sayang, kamu itu gak usah bela-belain anak itu terus." suara penuh sayang itu keluar dari wanita yang amat Aretha sayangi didunia ini, mamanya, Kirana Cahaya Safitri.

"Ma ...."

"Mau melawan kamu ke mama! Siapa yang bikin kamu jadi melawan begini! Pasti anak ini kan yang bikin kamu melawan sama mama!" ucapan Satria terputus oleh suara mama Kirana.

Mama Kirana menunjuk-nunjuk Aretha, meluapkan amarahnya. "Kamu pasti senang banget kan! Lihat Satria jadi melawan mamanya! Kamu itu dari dulu memang selalu membawa ...!"

"Ma!" cela papa dimas saat istrinya ingin mengucapkan kalimat yang tidak seharusnya diucapkan bagi orang tua kepada anak-anaknya.

Aretha hanya menundukkan kepalanya, tidak berani memandang kedua orang tua yang sudah membesarkan dirinya sampai sebesar sekarang.

Hati nya sakit, walaupun kalimat tersebut sudah sering dia dengar.

Tanpa mendengarkan peringatan suaminya dia kembali berbicara setelah terdiam beberapa saat, seakan-akan emosinya belum hilang. "Gak cukup apa kamu buat saya dulu menderita! Sekarang kamu malah membuat anak kesayangan saya jadi melawan sama saya. Kalau gak mikir karena orang tua saya dan satria, Kamu itu sudah lama saya ...."

"CUKUP MA! Itu semua cuman masa lalu, itu semua kecelakaan." Satria menyela ucapan mama Kirana mengepalkan tangannya dengan kuat. Untuk pertama kalinya Satria melawan ucapan mamanya dengan notasi tinggi.

"Diam kamu! Pasti semua ini gara-gara anak ini. Baru mama dan papa gak temui kamu sebulan, kamu sudah melawan dan nasehati mama. Bagaimana kalau sampai beberapa bulan pasti dia akan ...."

Papa dimas langsung menatap tajam kearah istrinya membuat mama Kirana menghentikan ucapannya.

Aretha menahan air mata yang dengan siap kapan saja keluar dari sudut matanya.

Tidak, dia tidak akan melakukan hal yang membuat orang yang dia sayangi tersakiti. Bila dia harus meninggalkan, menjauh dari mereka semua, akan dia lakukan kalau memang membuat mereka semua bahagia.

Aretha melirik sebelahnya, ada abangnya yang berdiri membela dirinya didepan mamanya. Ada papanya yang hanya menatap dia dengan dingin, kemana tatapan yang penuh hangat dan penuh kemarahan disaat aretha disakiti? Kemana?

Aretha sungguh tidak tahan lagi, hingga dia memutuskan untuk lari ke kamarnya.

"Aretha!"

"Lihat itu, Sungguh gak punya sopan santun. Lihat dia yang kamu bela-belain itu. Pokoknya mama gak mau tau kamu harus jaga jarak dari dia, atau kamu ikut mama dan papa pindah ke paris!" perkataan mamanya membuat satria mengepalkan tangannya. Mama nya terlalu keras kepala, menganggap kejadian beberapa tahun yang lalu, dilimpahkan kepada Aretha semua.

"Cukup ma. Selama ini aku diam, saat Aretha selalu kalian caci-maki hanya karena sebuah kecelakaan. Mama kira hanya mama yang merasa kehilangan, mama pernah berpikir selain mama, siapa yang lebih merasa kehilangan dan bersalah menumpuk dihatinya."

Satria beralih memandang papanya. "Untuk papa, aku berpikir kemana papa yang selama ini selalu ada untuk anaknya? Dimana papa yang selalu ada disaat anaknya disakiti?"

Setelah mempertanyakan hal tersebut, Satria pergi dari hadapan mereka, berlari ke kamar kecil Aretha. Meninggalkan kedua orang tuanya, seakan-akan pintu hati mama kirana telah tertutup dengan amarah, dia memandang kearah lain. Sedangkan papa Dimas hanya bisa menutup matanya, menyadari kesalahan fatal yang sudah dia lakukan.

Aretha langsung menutup pintu kamarnya, air matanya tidak henti-hentinya terus keluar dari sudut matanya. Aretha berjalan kearah meja rias, disana terdapat sebuah foto seorang laki-laki yang merangkul dia dengan penuh sayang.

Aretha menghapus air matanya tapi percuma bukannya berhenti malah terus keluar, dia pegang foto tersebut dengan erat.

"Abang." suara lirih langsung keluar dari mulutnya.

"Abang. Ar minta maaf ya. Ar pembawa kehancuran di keluarga ini. Coba aja Ar gak lahir, coba aja abang gak nyelamati Ar pasti abang masih disini, didekat mama, papa, bang satria. Kenapa gak Ar aja yang pergi, bang? Pasti mama, papa, dan abang satria akan terus tersenyum bahagia."

Aretha menutup matanya, menguatkan hati, apakah dia bisa menepati janji yang dia buat dulu?

"Coba waktu bisa diulang? Ar ingin hubungan semuanya seperti dulu, dimana kita tersenyum, tertawa, berbagi cerita, saling mengejek satu sama lain, dan saling melindungi."

Saat mengingat dengan detail kejadian demi kejadian. Aretha hanya bisa menangis tersedu-sedu, dia butuh seseorang yang berada disampingnya, mendengarkan apa saja yang dia rasakan saat ini?

Satria yang mendengar ikut menangis, dadanya terasa sesak, hatinya merasa menderita. Kenapa semua ini harus terjadi pada adiknya? Kenapa tidak dia saja yang mengalami semua ini?

Semakin lama mendengar suara tangis Aretha dia tidak kuat, apalagi melihatnya menangis hingga Satria memutuskan untuk pergi ke kamarnya.

"Bang maaf atas semua yang terjadi pada abang? Coba abang disini? Pasti abang ganteng banget ngalahi bang satria deh. Abang tau gak Aretha sedih, Ar marah ke diri sendiri. Yang buat abang pergi, Yang buat bang Satria harus melawan mama."

Aretha sungguh merasa bersalah, gara-gara dirinya satria harus melawan mama Kirana. Hatinya gelisah sekakigus sedih dengan apa yang terjadi baru saja.

"Ar kangen banget sama abang, Ar pengen peluk abang." lirih Aretha.

"maaf bang, Ar gak bisa nepati janji sama abang. Kalau adik abang ini akan selalu tersenyum tapi sekarang air mata sialan ini gak mau berhenti keluar, maaf."

Aretha menenggelamkan kepalanya diatas tangannya sambil terisak, meja hias tersebut basah dengan air matanya. Dia tertidur dengan posisi masih sama yaitu duduk dan tangan menjadi bantalnya.

"Maaf sayang." gumam seorang laki-laki sambil mengangkat badan Aretha ketempat tidur dengan hati-hati, dia memandang foto tersebut sebentar sebelum mengembalikan ketempat semula.

Archer |End|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang