⚠16⚠

477 46 0
                                        

"Aku menyesal. Menyesal telah mengenalmu dan menyukaimu. Tentang kamu dan keluargamu yang ternyata selalu memasang topeng kebohongan, aku benci kalian. Sangat benci."

-----

Dem sampai di sebuah rumah besar dengan arsitektur modern. Rumah ini hampir sama besarnya dengan rumah milik keluarga Ev.

"Mari ikut saya." Pria itu menggiring Dem masuk ke dalam rumah itu.

Suasana rumah ini hampir sama dengan rumah Ev, terlalu banyak pengawal-pengawal yang menyesaki di setiap sudutnya. Tapi mereka lebih garang dan urakan daripada yang ada di rumah Ev. Dem sedikit bergidik ngeri melihat mereka memegangi senjata dengan berbagai jenis yang berbeda. Dem juga cukup terintimidasi dengan tatapan tajam mereka.

Dem di bawa masuk ke ruangan yang penuh dengan dominasi warna hitam sehingga bernapas pun seakan sulit akibat efek warna gelap yang terlalu pekat.

"Ini tempat apa?" tanya Dem.

Pria itu menengok ke arah Dem, "Nanti anda akan tahu sendiri."

Dem mengikuti saja. Nyali Dem berlangsur ciut saat melihat wajah orang-orang di rumah ini yang sangat sangar. Sempat juga Dem berpikir kalau dia di bohongi dan di culik untuk perdagangan organ manusia. Tapi dia tetap berpikir positif, menyingkirkan praduga yang masih belum bisa dia pastikan kebenarannya.

"Silakan anda duduk disini, sambil menunggu bos kami tiba." Pria itu beranjak pergi setelah Dem duduk di sebuah sofa di tengah ruangan ini.

Sekitar 3 menit Dem duduk diam menunggu. Ada minuman dan beberapa toples cemilan yang mereka hidangkan untuk Dem.

"Maaf sudah membuat kamu lama menunggu Dem." Suara berat seorang lelaki membuat Dem spontan menoleh ke asal suara.

Ada seorang lelaki seumuran ayahnya Dem yang berjalan mendekat. Setelan lelaki itu sama resminya dengan anak-anak buahnya. Namun air wajahnya nampak lebih ramah dari anak-anak buahnya.

"Perkenalkan, nama saya Broto Dirata." Lelaki itu mengulurkan tangannya. Dem membalas uluran tangan itu dengan sebuah salaman.

"Saya tidak menyangka anak Abbas Wijaya sudah sebesar ini." Sambungnya, seolah dia pernah kenal Dem sebelumnya.

"Anda kenal ayah saya?"

Lelaki itu tersenyum, "Saya sangat kenal ayah kamu. Bahkan saya tahu penyebab dari kematian ayah kamu."

Dem semakin tidak sabar untuk mendapat penjelasan.

"Apa penyebab kematian ayah saya?" Tanya Dem to the point.

Lagi-lagi Pak Broto hanya tersenyum, "Santai Dem. Nikmati saja dulu minuman dan makanannya. Jangan terburu-buru seperti itu." Dem sedikit gerah dengan sikap orang tua itu. Mengapa orang tua ini tidak terus terang saja langsung.

"Saya sudah meminumnya tadi. Yang sekarang ingin saya ketahui adalah penyebab kematian ayah saya. Anak buah anda bilang, anda tahu penyebabnya." Kali ini sisa kesabaran Dem hanya tinggal sedikit.

"Anak muda memang tidak sabaran. Tapi tidak apa-apa, saya akan jelaskan." Pak Broto menenggak seteguk air minum dihapannya. "Kamu tentu sudah bertemu dan kenal dengan Bima Adhiti."

"Pak Adhiti maksudnya?" Dem memastikan tebakannya benar.

"Iya. Hmm, dia pasti sudah menceritakan kehidupan masa kecilnya dengan ayahmu. Dan tentang persahabatan mereka tentunya. Dia pasti belagak sangat baik dihadapan kamu dan ibu kamu." Pak Broto mulai dengan intro pembicaraan.

"Mereka memang bersahabat kan. Dan Pak Adhiti memang baik." Dem merasa tidak terima dengan ucapan Pak Broto yang seakan meragukan  kebaikan Pak Adhiti.

Demon & Devil [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang