⚠20⚠

532 41 0
                                    

"Memang kenyataan pahit itu sangat menyakitkan. Membuat kita dalam situasi yang sangat sulit. Menyesal. Biarkan itu jadi pelajaran, agar kita tak mengulangi kesalahan yang sama. Ingat, setiap orang punya kesempatan kedua untuk berubah."

-----

Mata Ev semakin pedih. Tapi dia masih berusaha keras menahan air matanya. Dia masih tak gentar menghadapi Dem.

"Gue bener-bener gak tau Dem. Tolong kasih tau gue." Pinta Ev dengan lirih.

Dem melirik Ev sejenak. Dia juga memang ingin sekali membongkar semua kepalsuan yang di tampilkan keluarga Ev selama ini. Tapi bukan sekolah tempat yang tepat, di sini bukan tempar yang baik untuk meluapkan emosi. Dan Dem tahu tempat yang tepat. Tempat yang di jam-jam seperti ini biasanya ada sebuah sudut yang kosong untuk mengeluarkan amarahnya.

"Ikut gue." Titah Dem seraya menarik kasar tangan Ev.

"Kemana?" Tanya Ev pelan.

"Udah ikut aja, katanya lo mau tahu. Dan bukan ini tempat yang tepat!" Bentak Dem.

Ev mengikut saja. Naik ke atas jok motor Dem. Setelah itu Dem memacu motornya di jala raya. Ev dan Dem sangat menjaga jarak. Tak ada percakapan saat di atas motor. Keduanya hanya diam. Dan Ev akan bicara setelah sampai di tempat yang Dem maksud.

Sekitar dua puluh menit perjalan. Mereka sampai di sebuah pantai yang nampak sepi. Hanya deburan ombak yang menyambut kedatangan mereka. Begitu turun dari jok motor Dem. Tangan Ev langsung di tarik kasar oleh Dem. Menuju salah satu sudut pantai. Tidak telihat ada seseorang di sana. Sangat sepi, seperti tak ada tanda-tanda kehidupan.

Langkah kaki Dem berhenti tepat di bibir pantai. Warna jingga dari matahari yang hendak tenggelam menemani mereka berdua. Pantai ini sepi, padahal biasanya orang suka berkumpul untuk melihat sunset. Tapi yang Ev lihat sekarang, berbanding terbalik dengan suasana pantai kebanyakan.

"Dem." Panggil Ev saat Dem melangkah maju dari sisinya.

"Gue tau lo itu sebenarnya tau semuanya. Tapi lo terlalu munaf untuk jujur." Ucap Dem. Pandangan kedua matanya masih menerawang lurus ke depan.

Ev menggeleng cepat, "Gue bener-bener gak tau Dem. Sekarang buat apa coba gue mohon-mohon minta lo kasih tau gue yang sebenarnya kalo gue sendiri tau."

Lagi-lagi Dem tertawa sarkas, jengah dengan sikap yang di tampilkan oleh Ev.

"Itu karena lo cuman mau pura-pura seolah lo adalah orang yang paling tersakiti disini. Ya kan?" Tegas Dem.

Bulir-bulir cairan bening sudah berkumpul di pelupuk mata Ev. Siap untuk jatuh kapan saja.

"Enggak sama sekali Dem. Terserah lo mau ngatain gue apapun. Tapi yang jelas gue pengen tau yang sebenarnya. Plis kasih tau gue Dem. Gue capek. Capek cari jawaban dari semuanya!" Isakan Ev semakin menjadi.

Dem berkacak pinggang seraya berdecak. Dem tak kunjung mengalihkan pandangannya.

"Dua tahun yang lalu. Gara-gara papa lo. Ayah gue meninggal. Jahat banget kan! Mengorbankan sahabatnya sendiri supaya dirinya selamat. Percuma papa lo nganggap ayah gue saudara. Kalau cuman buat di korbanin begitu aja."

Mata Ev terbelalak. Dua tahun lalu, itu kejadian penembakan brutal yang terjadi di rumahnya. Saat mafia lain menyerang rumah mereka. Saat itu keluarga Ev semuanya diungsikan, oleh Pak Adhiti. Ev pun tak tahu kalau ayah Dem turut menjadi korban dalam kejadian itu.

Demon & Devil [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang