Setiap malam kuselalu bercengkrama dengan sang rembulan, ia selalu menertawakanku yang selalu kalut dalam patah. Sudah berapa banyak tetesan di pipi yang kukeluarkan sia-sia? Ingin menyesali, semua sudah terjadi. Mungkin aku yang terlalu bodoh karena tak bisa pahami badai yang selalu datang. Setelah diterbangkan setinggi awan, dihempas sampai remuk tak beraturan.
Terkadang aku sampai malu kepada rembulan. Ia menjadi saksi bisu tangis piluku setiap malam. Dan selalu sama yang kuadukan, perihal kisahku yang selalu berujung tragis. Tak ada yang berbuah manis. Sudah cukup aku membodohi diri, semuanya sia-sia tak berarti.
Tulungagung, 05 November 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku dan Ragu
ŞiirKolaborasi prosa Cellia Vidyana x Alifia Loveista Rasanya sudah kaku untuk merasakan apa itu detak yang sering mereka bicarakan. Jangan salahkan kenapa detakku kaku, sebab detakku sudah berulangkali runtuh. Setiap aku menggenggamnya, setiap itu juga...