Bastian Abdinegara sedang duduk bersandar pada kursinya yang empuk di dalam ruang kerjanya di kantor Badan Intelejen Nasional. Seperti ruangan para petinggi lainnya yang mewah dan terawat, ruang kerja Bastian pun begitu. Hanya saja para pendahulunya sudah menambahkan beberapa sentuhan khas BIN di ruangan itu. Buku tebal yang terletak di rak paling atas itu, misalnya. Jika diangkat, rak akan terlipat dan menunjukkan sebuah koridor rahasia di belakangnya. Intrik terfavorit Bastian di ruangan ini adalah pulpen keramik di atas meja kerjanya. Ada tiga pulpen yang berbaris rapi, terletak dekat ujung meja yang berhadapan dengan tamu. Bastian selalu meminta tamu yang datang ke ruang kerjanya untuk memakai pulpen itu. Bukan karena Bastian lebih sayang dua pulpen yang lain, tapi karena pulpen itu sanggup menyadap semua isi ponsel orang yang menggenggamnya dalam beberapa detik.
Sederhana, pikir Bastian. Namun brilian.
Bastian menghembuskan napas dan membiarkan dirinya melesak semakin dalam ke kursinya. Pekerjaannya menumpuk tapi malaikat juga tahu kalau dia butuh istirahat.
Gara-gara meteor sialan itu.
Jari-jari Bastian mulai memutar-mutar cincinnya lagi. Sebagai wakil kepala BIN, dia orang yang cerdas, itu sudah jelas. Dan seperti orang cerdas manapun, Bastian tidak suka jika harus berhadapan dengan masalah yang tak dia ketahui jawabannya.
Meteor itu...
BIN bukan satu-satunya badan yang menangani perkara ini. Polri, TNI AU, LAPAN, dan LIPI juga turun tangan, tapi secara tak langsung BIN dianggap sebagai yang paling kredibel untuk mengurusnya. Rupanya seseorang entah siapa di kabinet menyamakan antara meteor jatuh dengan serangan teroris dan menuntut BIN bertanggung jawab. Presiden sendiri meminta BIN untuk menginvestigasi kejadian ini secepatnya sekaligus merahasiakannya dari dunia internasional.
Memangnya ini urusan keamanan biasa, apa?
Angkatan Udara sudah mengonfirmasi puing-puing itu. Bukan pesawat kami. Maka tambah paniklah orang-orang di kabinet itu. Mereka yakin puing-puing mekanis yang ditemukan di titik jatuhnya meteor itu adalah pesawat alien.
Bastian sendiri masih enggan menerima gagasan itu. Maksudnya, Jakarta adalah kota paling terakhir yang mungkin didatangi alien. Bahkan penduduk Jakarta saja ogah tinggal di kota sumpek yang tak ramah itu. Boro-boro alien. Tapi penyelidikan puing-puing itu sudah mengarah ke alien; tak ada seorangpun baik di TNI maupun Polri, baik yang masih aktif maupun yang sudah purnatugas yang tahu tentang teknologi pesawat itu. Ahli LAPAN memprediksi pesawat itu menggunakan energi lain sebagai bahan bakar, suatu daya asing yang tak dikenal di tata surya kita. Dan itu bukan sembarang daya. Kekuatannya ditaksir tujuh puluh kali lipat lebih dahsyat dari energi nuklir di inti Matahari – kekuatan terbesar yang dikenal manusia. Mereka menyebutnya Energi X.
Itu bukan hanya sekedar kuat, pikir Bastian takjub. Tapi mahakuat. Kekuatan yang bisa membangkitkan kehidupan. Juga melenyapkannya dalam sekejap.
Kabar buruknya, Energi X yang diekstrak dari reruntuhan pesawat itu hanya residunya saja. Sumber utama Energi X itu telah terlepas dari tubuh pesawat.
Pemuda berambut putih itu.
Ketika melihat si pemuda aneh itu terbang dan menyerang Koda, Bastian langsung tahu bahwa dia sedang berhadapan dengan sosok yang luar biasa. Superman, begitu para pegawai di BIN menjuluki pemuda itu. Bastian yakin si Superman membawa inti Energi X. Itulah alasan mengapa dia sanggup mengalahkan Koda hanya dengan dua tiga pukulan.
Padahal Koda sudah sangat kuat.
Bastian tidak mengada-ada. Pasukan gabungan TNI Angkatan Udara, Angkatan Darat dan Polri saja kesulitan meringkus monster raksasa itu. Tapi Superman merobek perut Koda seolah monster itu hanya boneka kain saja...
KAMU SEDANG MEMBACA
MilkTea [TAMAT]
HumorTeana ketakutan ketika bertemu cowok bernama M1LK yang mengaku sebagai alien. Bersama Bobo, sahabatnya yang ngondek, mereka melarikan diri. Apalagi cowok itu hanya memakai celana renang dan dia minta TeTe! Ternyata kehadiran cowok misterius itu berb...