17. Ikan dan Ingatan

885 291 3
                                    


TEEET... TEEET... TEEET...

Teana mematikan alarmnya (kali ini ringtone-nya yang mainstream aja) dan menguap lebar-lebar. Cahaya matahari menerobos masuk dari celah tirai-tirai jendela kamar.

Setengah mati Teana menahan godaan untuk tidur lagi. Iya, aku tahu ini hari Minggu.Tapi hari Minggu ini jelas nggak akan seperti hari-hari biasanya.

Rumah terasa sunyi. Jelas, karena ini hari Minggu. Teana menunggu suara-suara riuh yang dibuat Mamanya setiap pagi, tapi semuanya hening. Bahkan bunyi bising kendaraan dari jalan di depan rumah juga teredam, seperti ikut berlibur di hari Minggu. Saking heningnya, Teana sampai bisa mendengar detak jarum jam dinding.

Teana memijat-mijat keningnya, mengingat. Ini minggu yang aneh.

Sebagai gadis biasa-biasa saja, hidup Teana Alexandra juga biasa-biasa saja. Nggak ada yang spesial, seperti layaknya gadis sembilan belas tahun lainnya di muka Bumi ini. Kalian yang membaca cerita ini dari awal tanpa melompati bagian-bagiannya pasti sudah tahu kalau ini memang cerita tentang orang-orang biasa yang tak terbiasa mengalami peristiwa-peristiwa luar biasa.

Kalau aku nggak ngotot mau beli bra hari itu...

Mungkin akan lain lagi kisahnya. Malah kemungkinan besar kalian nggak bakal bisa menikmati cerita ini, karena peristiwa-peristiwa luar biasa itu tidak akan pernah terjadi. Nggak, bukannya Teana menyesal beli bra baru (karena tali branya yang lama sudah kendor, selain itu, wanita mana sih nggak senang punya bra baru?) Malah kalau mau dipikir-pikir, mungkin Teana sudah ditakdirkan mampir ke Mall Pondok Cabe-cabean hari itu.

Lagian, siapa yang menyangka bakal ada Godzilla segala?

Versi lain dari kisah ini adalah, Teana pulang ke rumah dengan membawa branya yang baru dan menikmati hidupnya yang biasa-biasa saja sampai lanjut usia tanpa ada huru-hara yang bermakna. Tapi jalan cerita seperti itu jelas nggak seru dan nggak layak dijadikan novel oleh penulis sekaliber Kai Elian. Yang terjadi adalah, seperti yang kalian baca, Teana malah bertemu Milk, si alien berambut putih bersama dotnya yang rusak dan tingkahnya yang ajaib.

Seajaib belanja baju sampai sebelas juta di supermarket MartTrans.

Tentu saja belanjaan itu dibatalkan karena, yah, sebagai gadis jelata dari golongan non-sultan, Teana nggak dapat duit jajan sebanyak itu. Setelah meminta maaf pada petugas kasir dan terpaksa menyebut Milk mengalami gangguan jiwa, Teana cepat-cepat pulang sambil membawa beberapa barang yang sanggup dibayarnya (lima puluh kue cubit Mang Emang tidak termasuk). Milk dapat enam stel pakaian dan itu sudah cukup.

Semoga nggak ada kehebohan lagi.

Tadi malam Milk menginap di kamar Tito Carnivora, kakak Teana. Kamar Tito lebih laki (tanpa akhiran -k) jika dibandingkan dengan kamar Bobo. Teana lega karena tahu Milk aman di sana.

Setidaknya sampai Donna muncul lagi.

Tidak ada yang membahas-bahas tentang Donna, si alien setengah sales asuransi setengah pembunuh yang menyerang Milk di rumah Bobo. Milk sendiri kebingungan kenapa Donna menyerangnya. Menurut Teana, sebagai sesama penduduk Planet Kentalmanis, seharusnya Donna membantu Milk untuk kembali ke planet asal mereka.

Terakhir kali Teana melihat Donna, wanita itu sedang terpental keluar menembus plafon sambil memeluk tabung gas pecah. Mungkin gadis itu mati. Entahlah. Sudah tiga hari berlalu sejak kejadian itu.

Dan seolah-olah masalah belum cukup runyam, ledakan tabung gas itu sampai mengungkit BIN segala. Teana paham BIN hanya bersikap waspada, tapi tetap saja dia gengges saat diinterogasi petugas BIN bernama Bastian itu. Lebih gengges lagi karena ada Milk. Teana dan Bobo sepakat kalau lebih baik keberadaan Milk disembunyikan saja. Setidaknya sampai mereka tahu bagaimana caranya memperbaiki T2 – dot semi transparan milik Milk yang rusak.

MilkTea [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang