Bastian memutar cincin di jari manisnya, memastikan benda itu terpasang rapat.
Mood-nya sedang tidak baik. Bagaimana tidak, sudah hampir dua minggu sejak huru-hara itu dan dia masih belum menemukan jawabannya. Tadi pagi Bastian dipanggil untuk bertemu dengan Kepala BIN, atasannya. Beliau menanyakan perkembangan penyelidikannya. Dengan berat hati Bastian hanya bisa memberikan jawaban alakadarnya.
Bastian geram pada dirinya sendiri karena tak sanggup memberikan jawaban yang memuaskan.
Padahal dia sudah mengirim anak buahnya untuk menyelidiki. Yang terakhir malah gagal total. Hari ini Bastian itu bertekad untuk mencari jawaban. Kali ini, saatnya dia turun langsung. Tak boleh lagi mengandalkan orang lain. Tak boleh lagi mengulangi kesalahan.
"Pak," sopirnya memanggil. "Kita sudah sampai di Universitas X."
Bastian mengangguk. "Rendra, Gavin, bawa kopernya!"
"Siap, pak!" sahut Rendra dan Gavin.
Mereka turun dari mobil dan masuk ke halaman depan yang penuh orang. Dia mengisyaratkan para anak buahnya untuk belok ke samping ke arah parkiran, menuju gedung sebelah. Kampus sedang ramai. Kita tak boleh menarik perhatian...
Melewati lapangan parkir, mereka menuju gedung lain berwarna biru yang terletak di samping gedung utama. Sesuai instruksi Bastian, para anak buahnya yang memakai pakaian sipil langsung "berbaur". Mereka kelihatan persis seperti mahasiswa yang mondar-mandir di lingkungan kampus.
Mereka masuk ke dalam gedung, naik ke lantai tujuh dan menuju ruangan besar di sisi kiri. Papan nama kuningan di pintunya berbunyi: Prof. Piktor Pirmansyah, Phd.
Bastian mengetuk pintu.
"Masuk."
Di dalam ruangan, Profesor Piktor sedang duduk di meja kerjanya. Seperti profesor lainnya di universitas, pria itu kelihatan cerdas sekaligus rapuh, seakan-akan tiupan angin saja dapat mematahkan punggungnya. Rambutnya beruban dan dahinya berkerut-kerut, seperti sering dipakai untuk berpikir.
"Pak Bastian," sapa Piktor. "Kita ketemu lagi."
"Terima kasih karena Anda sudah bersedia menemui saya."
Piktor tersenyum getir. "Kebetulan saya tidak ada kelas hari ini."
"Baik sekali," kata Bastian. Dia menjentikkan jari. Gavin dan Rendra langsung mengunci pintu ruangan itu.
Sebutir keringat mengalir turun di tengkuk Piktor. "Err, sebenarnya pintunya tak usah dikunci."
"Saya memilih untuk tidak diganggu."
"Tidak akan. Para dosen yang lain sedang mengajar."
"Saya tidak mau mengambil resiko," kata Bastian dengan nada menyudahi. Dia meraih koper berwarna metalik yang diangsurkan Gavin dan membukanya di depan sang profesor. "Saya ingin tahu apa pendapat Anda soal ini..."
Bau amis yang menyengat memenuhi ruangan itu. Piktor terbatuk kecil dan mengangkat tangannya ke hidung. Dia meneliti onggokan berlendir di dalam koper. "Ini... apa?"
"Sisa-sisa tubuh Koda," kata Bastian. Dia tidak menutup hidung, bau amis ini tak mengganggunya. "Bagian ini diambil dari dalam kepalanya. Saya ingin Anda menelitinya."
"Saya profesor astrofisika, Pak Bastian. Ini di luar bidang saya." Piktor mengangkat telepon. "Saya bisa minta tolong Profesor Sukma dari Fakultas Biologi. Ini keahlian beliau."
Bastian menarik telepon itu dan menutupnya. "Tidak perlu."
"Tapi..."
"Saya bilang tidak perlu," ulang Bastian tegas. "Saya ke sini untuk minta bantuan Anda."
KAMU SEDANG MEMBACA
MilkTea [TAMAT]
HumorTeana ketakutan ketika bertemu cowok bernama M1LK yang mengaku sebagai alien. Bersama Bobo, sahabatnya yang ngondek, mereka melarikan diri. Apalagi cowok itu hanya memakai celana renang dan dia minta TeTe! Ternyata kehadiran cowok misterius itu berb...