12. Sisi Lemah

1.8K 328 0
                                    

—Devon Woody

Untuk pertama kalinya, aku terluka karena ucapan wanita selain Esme.

Bahkan, ini pun jarang terjadi. Aku hanya pernah sesekali mengalaminya selama empat tahun kebersamaanku dengan istriku. Setahun berkencan dan tiga tahun dalam hubungan pernikahan, kami nyaris tidak saling menyakiti. Menurutku begitu. Karena sejauh ini, aku merasa seperti itu.

Apalagi, selama dua tahun lamanya Esme mengalami koma sehingga waktu terus berjalan, terlewati begitu saja. Tetap setia, itu yang kulakukan.

Dan ketika wanita muda ini mengatakan hal yang ternyata bisa melukai perasaanku, sisi lemahku terbaca jelas. “Aku tidak penting bagimu?”

Lila mengabaikanku. Dia berbaring dalam posisi memunggungiku. Aku tidak bisa begini jika ingin terus mendapatkan perhatiannya.

Telingaku menangkap suara cekikikan di belakangku. Ketika aku berbalik, si bocah sialan itu tidur memunggungiku. Ingin sekali rasanya aku datang menghampirinya dan memberikan pelajaran—ah, sudahlah.

Mendadak, aku seperti kehilangan kewarasanku. Merasa diriku seakan bukan milikku. Hanya karena seorang wanita muda, aku nyaris menjadi berbeda.

Gelisah, tidak sabaran, kehilangan fokus, bahkan hal lainnya yang kurasa tidak seharusnya ada pada diriku. Kacau!

Naik ke tempat tidur, aku memeluk Lila. Tidak peduli seberapa akan marahnya dia padaku. Kubuat dia benar-benar berada dalam dekapan eratku. Tidak bisa lepas.

Kuciumi tengkuknya tanpa basa-basi. Menyusupkan tanganku ke balik pakaiannya. Meraba apa yang bisa kusentuh untuk—

“Dev ... kau mau mati, hmm?”

“Hmm.” Dengan tidak pedulinya, aku terus memberikan sentuhan sensual pada pusarnya. Gerakan melingkar mengundang gairah di sekitar sana.

“Dev,” geram Lila.

Aku tahu dia sedang menahan segala gejolak dalam dirinya. Aku tidak peduli. Dapatkan dia atau selamanya aku akan menyesali atas rasa kehilanganku untuk dirinya.

Tidak peduli meski dia tidak menginginkanku. Kurasa, perasaanku yang terluka karena ucapannya tadi, membuatku marah dan ingin menidurinya. Ini gila!

Perasaan menguasai, meski sesuatu yang kuharap bisa kumiliki, telah melukai perasaanku. Tidak mengapa. Aku memang terluka, tapi menolak untuk menyerah. Punggung tanganku terasa sakit. Lila mencubitnya sedikit kuat, ketika jariku siap menusuknya.

“Kenapa kau mengabaikan ancamanku, Dev? Kau pikir—”

“Ssst. Diamlah, Lila.” Kukecup berulang kali tengkuknya selagi bicara. Tidak peduli bagaimana sekarang tanganku memaksa masuk ke balik celana dalamnya, sementara dia tampak berusaha menahanku melakukannya.

Ada desah tertahan yang kudengar, ketika jariku berhasil membuatnya basah. Dia terus berusaha menahan tanganku untuk tidak melakukan gerakan menusuk ini, tapi sekuat itu pula aku mengagalkan pertahanannya.

“Lila, tenang dan nikmati saja. Tidak akan ada yang lebih dari ini. Percayalah.”

“Kau ....” Ucapannya tertahan hasratnya, serak.

“Hmm?”

“Jangan sampai kau membuat kita terlihat menjijikkan di depan Gray.”

Seketika jari-jariku berhenti. Aku membuat Lila menghadap ke arahku, walau sempat tubuhnya menahan untuk tidak berbalik.

Setelah menatapnya sekilas, aku menarik tirai yang mengelilingi ranjangku. Seharusnya, sejak tadi kulakukan hal ini. Setidaknya tertutup.

Mata Lila menatap tirai yang sudah kututup dengan kerutan di keningnya. Walau tidak mengatakan apa pun, aku tahu dia merasa teramat kesal.

𝐃𝐄𝐕𝐈𝐋: 𝐃𝐄𝐕&𝐋𝐈𝐋𝐀 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang