33. Bayi?

1.4K 290 4
                                    

—Lila Winter

Lima hari sebelumnya.

Aku baru saja bertemu Gray di jam makan siangku, sambil menanyakan siapa nama kedua orang tuanya.

Bocah itu tampak tidak keberatan sama sekali perihal pertanyaanku yang kesannya sangat pribadi. Dan dia dengan senang hati memberitahuku jawabannya.

Setelah kembali ke kantor, aku mengirim pesan pada ibu.

[Bu, Tavisha Ilse adalah nama dari mendiang ibunya Gray dan Jorgie Tatum untuk nama ayahnya]

Ponselku baru mendarat di saku celana kantorku, saat kulihat wanita cantik dengan kelembutan di wajahnya itu seketika berdiri tegak, saat aku berhenti di lobi dan menatapnya.

Aku menunggunya menghampiriku. Benar-benar menunggu. Walau raut wajahku selalu sempurna tanpa ekspresi, tapi jantungku berdebar saat dia mendekatiku. Sensasi macam apa ini? Dari mana dia tahu harus mencariku ke mana?

“Nona di bandara, benar?”

Nona di bandara? Hahaha. Kupikir, dia tahu namaku. Setidaknya, suami tercintanya itu mau memberitahukan perihal sebuah nama padanya.

“Ya, benar. Anda ....”

“Aku Nyonya Woody.”

Ah, ya. Aku tidak ingat atau bahkan tidak tahu siapa nama lengkap si hot uncle.

Wanita ini tersenyum manis padaku. Hanya lewat raut wajahnya saja, sudah tersirat banyak kebaikan. Lembut, cantik, tulus, bahkan ramah. Lengkap. Lalu, apa yang kurang dari dirinya?

“Bisakah kau meluangkan waktu untukku, Nona ....”

“Lila.” Gantian aku yang memberitahukan namaku. “Berapa lama waktu yang kau butuhkan?”

“Mungkin sekitar tiga puluh sampai lima puluh menit.”

Itu artinya akan memakan waktu kerjaku. Hal sepenting apa yang ingin dia bicarakan denganku hingga membutuhkan waktu selama itu?

Setahuku, jika dia ingin memberiku peringatan agar jangan menggoda dan merayu suaminya, dia tidak butuh waktu lebih dari lima belas menit. Lalu kira-kira ada apa?

“Bisakah aku memundurkan waktunya hingga jam pulang kerja?”

Tanpa perlu menunggu, wanita ini mengangguk. “Tentu. Aku akan menunggu di kafe depan kantor ini.”

Aku tidak yakin dia akan sanggup menungguku selama itu. “Waktu pulang kantor masih empat jam lagi. Biarkan aku yang datang ke tempat Anda. Beritahu saja alamatnya, aku akan ke sana segera setelah jam pulang.”

Kepalanya mengangguk cepat dan sesuatu segera dia keluarkan dari dalam tasnya. Sebuah notes. Dia menuliskan sesuatu di sana.

“Ini nomor kontakku dan alamat tempat untuk kita nanti bertemu, Nona Lila.”

“Aku cukup dipanggil Lila saja.” Kuterima kertasnya.

Dia tertawa pelan dan mengangguk. “Okay, Lila. Kalau begitu, aku pun cukup dipanggil dengan Esme saja.”

Esme. Nama yang bagus. Dengan nama lain apa Dev memanggilnya?

“Okay.” Walau begitu, akan kukurangi memanggil namanya langsung jika tidak perlu. Jelas dia lebih tua dan sudah seharusnya kusematkan ‘nyonya’ di depan namanya.

“Sampai bertemu nanti, Lila.” Dia melambai padaku. Esme yang cantik dan anggun. Kedewasaannya pasti sangat dipuja oleh Dev.

Aku membalas sekilas lambaiannya, lalu berbalik untuk kembali ke ruanganku. Merampungkan semua pekerjaan agar selesai tepat waktu.

Sorenya, di toko bunga yang asing bagiku.

“Esme menunggu di rumah kaca di belakang tempat ini. Kau bisa lurus dan langsung menemukannya.” Seorang wanita yang terlihat berusia tidak jauh berbeda dari Esme, menyambut dan memberitahuku dengan ramah.

Kutemukan istri tercinta Dev sedang duduk sambil merapikan kertas-kertas di atas meja bundar di depannya.

“Halo, Lila. Kemarilah.” Melambai-lambai tangannya dengan riang ke arahku.

Pesonanya tidak luntur. Semakin bersinar di bawah matahari sore yang menembus rumah kaca.

Aku langsung duduk di hadapannya. Tidak ingin coba mengintip apa isi dari kertas-kertas tipis yang sudah dia tumpuk menjadi satu. Yang kutahu, itu tulisan tangan.

“Lila, bisa kita mulai?” Esme bertanya padaku dengan lembut. Dia sudah duduk tenang, melipat tangan di atas meja.

“Tentu.” Jujur saja, aku semakin berdebar. Sangat berbeda pastinya dengan ekspresi wajahku saat ini.

“Aku mungkin terdengar gila, tapi kuharap, kau mau mengerti akan keadaanku.” Sebuah dokumen lain disodorkan ke arahku. “Tolong bacalah, Lila.”

Tidak ragu sedetik pun, aku bergerak cepat membuka dan membaca apa isi dari dokumen itu.

Sebuah surat keterangan dari dokter. Surat yang menjelaskan kondisi kesehatan nyonya Woody. Sebenarnya, apa hubungannya denganku? Untuk kali ini, antena penghubungku sedang tidak berjalan begitu baik.

“Apa ini ada hubungannya denganku?”

Esme tersenyum. Senyum yang menurutku teramat memikat. Dia begitu mirip model fashion yang pernah kulihat saat acara pembukaan cabang butik ibuku setahun lalu. Tulang pipi yang menonjol, terlihat bagus saat dia sedang tersenyum.

“Tentu saja ada, Lila. Aku menginginkanmu sebagai ibu untuk bayi kami.”

𝐃𝐄𝐕𝐈𝐋: 𝐃𝐄𝐕&𝐋𝐈𝐋𝐀 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang