32. Rencana Gila!

1.4K 273 3
                                    

—Devon Woody

“Untuk semua waktu yang telah terlewati begitu saja.”

“Kau tidak perlu terus membicarakan hal itu. Sekarang, mari sepakat untuk tidak lagi mengungkit tentang masa dua tahun yang sudah kita lewati. Kau setuju?”

Pelukan darinya terlepas. Dia menatapku dalam-dalam. “Aku setuju.”

Sepekan. Aku rasa, melupakan Lila bisa semudah itu. Nyatanya, tidak juga, andai aku tidak melihatnya datang pagi ini ke rumahku. Ke tempat aku menetap bersama istriku.

Bahkan aku memeriksa keberadaan Esme yang sudah kuingat jelas, berpamitan ingin berbelanja ke pusat kota untuk makan siang kami. Istriku itu menyempatkan diri membujukku agar mengambil libur hari ini. Sejenak, ayo mengingat kejadian yang baru lewat beberapa jam lalu.

Pagi tadi, Lila duduk tanpa kuminta. Dia juga masuk tanpa perlu kupersilakan. Ada apa ini? Kenapa bisa seenaknya dia bersikap seolah aku ini mudah untuk dia permainkan?

“Mengejutkan bahwa lima hari yang lalu, tanpa sengaja kami bertemu.”

Apa? Lima hari lalu? “Bukannya kau yang sengaja mencariku melalui istriku?” Kepercayaan diri yang tidak masuk akal. Membuatku ingin menangis darah. Memalukan.

“Itu tidak penting lagi, jika kau tahu apa yang ditawarkan istrimu padaku.”

“Apa itu?” Suara serakku menandakan betapa aku berhasrat hanya dengan melihatnya saja. Sialan!

Aku berdeham untuk membenarkan suara yang bisa dihasilkan oleh mulutku nanti, sambil memperhatikan bahwa ternyata, Lila membawa sebuah amplop besar berisi kertas putih yang kini ada di atas meja.

“Bacalah.”

Kutarik dengan cepat kertas putih dengan tulisan tangan Esme. Hebatnya istriku itu. Seolah berasal dari zaman tanpa tinta mesin print, dia menganggap tulisannya tidak perlu dicetak, barangkali.

Aku gugup saat membaca isi tulisannya. Benar membuatku tidak bisa berpikir jernih, hingga kata demi kata yang ditulis oleh Esme seperti berubah hidup dan menyerangku. “Kau setuju?”

Lila tersenyum sekilas. Senyum yang membingungkan bagiku. “Bukankah ini cara agar kau bisa mengambil keperawananku dengan mudah?”

Menggebrak meja, aku tersinggung sekaligus malu karena ucapannya tidak terlalu salah. Ada benarnya.

“Sayang!” Suara penuh kepanikan berasal dari arah pintu.

Esme di sana. Dia mencampakkan begitu saja plastik belanjaannya hanya untuk menghampiriku.

“Devon, aku minta maaf. Aku yang meminta Lila untuk datang.” Dia memegangi lenganku dengan tangannya yang gemetar, lalu menoleh ke arah Lila yang santai dan tenang tanpa beban.

Esme tidak mengatakan apa pun pada Lila, tapi aku tahu bahwa mereka saling memberi isyarat dengan anggukkan kepala. Kemudian, Lila berdiri dan mengangguk hormat pada istriku, bukan padaku. Lalu dia berlalu pergi dari hadapan kami.

Apa-apaan ini?

“Bisa kita bicara, Sayang?”

Dengan rasa geram dan bingung, aku mengangguk kalut. “Kita tidak perlu bicara. Jelaskan sekarang. Aku mendengarkanmu.”

Setelah menuntunku untuk duduk, Esme menggeser kursinya untuk mendekatkan jarak kami.

“Apa yang kau baca itu murni keinginanku, Devon.”

Kau sudah gila rupanya. “Murni keinginanmu?” Mengejek, aku tertawa marah dan meraih kertasnya untuk kurobek.

“Robek saja. Masing-masing dari kami menyimpan salinannya.”

Oh, begitukah? Jadi yang untukku ini hasil tulisan tangan agar aku percaya ketika Lila mengantarkannya padaku dan memintaku membacanya? Supaya apa? Aku bingung sekaligus marah.

“Aku menghargai kau yang dengan susah payah, mungkin menggunakan air mata saat menulis semua omong kosong ini untukku.”

Esme menggeleng-geleng dengan wajah sedih. Dia menatapku sambil meneteskan air matanya tanpa suara. “Tidak. Aku tersenyum saat menuliskannya. Bahkan dengan banyak harapan agar ke depannya, hidup kita bisa bahagia selamanya.”

Mendengarnya mengatakan itu, seketika amarah yang tadi kutahan meledak. Walau hanya seperempatnya. “Kau gila? Bagaimana kita akan bahagia ke depannya jika kau mengharapkan bayi dari wanita lain?”

“Walau dari wanita lain, tapi bayi itu nantinya tetap darah dagingmu.”

“Tapi bukan bayi dari rahimmu.”

“Aku bisa menganggapnya bayiku juga.”

Mendengus kesal, aku tidak yakin Lila setuju dengan ide gila Esme yang pasti mustahil jika wanita itu menyetujuinya, apalagi sudi melakukannya.

Lila bukan wanita sembarangan. Aku tahu, walau tidak begitu mengenalnya dengan sangat baik. Dia tidak akan mungkin—

“Lila setuju untuk melakukan ini asal semuanya dirahasiakan. Kau sudah membaca poin dua sebelum akhir, bukan?”

Apa? Setuju? Mana mungkin! Andai benar, aku curiga Lila setuju jika tidak ada unsur lain yang mengiminginya. “Kau begitu yakin akan semua ini?”

“Ya. Aku yakin.”

Lihatlah wajahnya itu. Apa dia tidak sadar sedang berurusan dengan siapa? Lila bukan wanita yang sesuai dengan apa yang dia pikirkan. Lila itu wanita yang penuh perhitungan dan pertimbangan. Aku khawatir dia akan menipu kami. Itu bisa saja terjadi.

“Kau tidak takut kami akan saling jatuh cinta?”

Esme tersenyum. Senyum yang kunilai bijak. “Aku percaya padamu, Devon. Selalu mempercayaimu.”

𝐃𝐄𝐕𝐈𝐋: 𝐃𝐄𝐕&𝐋𝐈𝐋𝐀 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang