18. Teman Hidup

1.5K 275 0
                                    

—Lila Winter


“Mau ke mana?”

Langkahku terhenti. Suara itu. Dev ada di belakangku. Sejak kapan dia di sana?

“Mengikutiku?”

“Tidak. Aku hanya memastikan setiap beberapa jam sekali.”

“Memastikan apa?” tanyaku curiga.

Senyumnya sedikit miring. “Memastikan kau atau Gray tidak mencoba masuk ke kamar satu sama lain.”

Aku mendengus. “Dan hasilnya?”

“Aku melihat kau melakukannya lebih dulu.”

Tuduhan. Aku tidak peduli. Dia sudah tahu bahwa aku bukanlah kekasih Gray. Padahal dia juga meyakini bahwa aku tidak memiliki apa pun untuk bocah tampan itu.

“Kenapa tidak membantahnya, Lila?”

“Kau seharusnya tahu.”

“Setidaknya, kau bisa menjelaskannya padaku.”

Kutatap dia lekat-lekat di bawah langit pagi buta yang masih muram, gelap. “Kenapa kau bersikap seolah kita memiliki hubungan, Dev?”

“Karena aku menginginkan hal itu.”

“Tapi, aku tidak menginginkannya.”

“Kenapa? Beritahu aku.”

Aku tertawa hampa. Bagaimana bisa pembicaraan ini terus terulang? “Kau sudah tahu alasanku.”

Diamnya Dev, pertanda bahwa dia mengerti. Memang sejak awal dia mengerti, bukan? Dia hanya berharap aku bersedia ada dipihaknya. Mendukungnya untuk mengkhianati siapa pun yang saat ini sedang bersamanya, sebelum diriku.

“Lila,” panggilnya lembut. Satu langkah mendekat padaku. “Biarkan aku memelukmu.”

“Tidak.” Batal ke kamar Gray, aku berbalik arah. Kembali ke kamar. Udara di jam ini pasti bisa menyejukkan tubuhku, bahkan ketika pendingin ruangannya tidak dinyalakan. Aku bisa tidur dua atau tiga jam lagi sebelum sarapan.

Pintu kamarku tertahan. Siapa lagi kalau bukan Dev. Dia ikut masuk bahkan mengunci kami berdua di dalam kamarku. Aku tahu akan jadi seperti ini.

“Aku hanya ingin memelukmu. Sungguh.”

Kuhela napasku tanpa suara. Membuatnya semakin mendekat. Aku sengaja tidak berada di tempat tidur. Tetap berdiri di sisi ranjang.

“Kemarilah.” Kuizinkan dia. Kubiarkan kedua lengannya memelukku erat. Tubuhnya dingin. Berapa lama dia di luaran sana untuk mengawasiku?

“Lila,” panggilnya.

“Hmm?”

“Aku jadi gila karenamu.” Dev mengeluh, bukan protes.

“Aku tidak menginginkan hal itu darimu.”

“Aku tahu.” Dia mencium keningku.

Lihatlah. Dia mulai lagi dengan sentuhan yang memabukkan. Bahkan ciuman di kening pun, rasa-rasanya teramat menyiksa. Tidak hanya dirinya yang menginginkanku, aku pun sebaliknya. Begitu ingin menyentuhnya.

Kuakui itu, namun tidak bisa bertindak sesuai mauku. Dia memiliki seseorang yang bukan hanya pendamping, namun teman hidup.

Aku mematung kaku. Tidak seperti biasanya. Firasat burukku entah bagaimana sedang bekerja dengan baik. Aku tidak lagi bisa menikmati ini tanpa rasa bersalah.

“Lila ... cium aku.”

Cepat-cepat aku menggeleng.

“Baiklah. Biarkan aku yang lebih dulu mencium kalau begitu.”

Aku menahan wajahnya. Tepat beberapa jariku menempel di bibirnya. “Berhentilah, Dev. Aku tidak yakin teman hidupmu tidak mencurigaimu selama ini.”

𝐃𝐄𝐕𝐈𝐋: 𝐃𝐄𝐕&𝐋𝐈𝐋𝐀 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang