16. Menolak Pulang

1.7K 302 1
                                    

—Devon Woody


Panggilannya itu membuat gairahku meningkat. Lagipula, ini nyaris tengah malam. Aku ingin berada di ranjang yang sama dengannya. Menidurinya, andai itu memungkinkan. Akh, sulit! Sebaiknya jangan bicarakan itu. Sialan memang!

“Apa? Siapa?” Responku yang cukup terlambat.

“Gadis dengan rambut jahe itu.”

Rambut jahe?  Segera kuedarkan pandangan ke penjuru dalam kafe. Mengabaikan tatapan orang-orang yang mungkin merasa terganggu dengan keberadaan kami berdua yang tengah mengamati mereka dari pintu kaca luar.

Yap! Gadis yang tampak lebih muda dari Lila. Berambut jahe, maksudnya, mungkin memang warna asli rambutnya seperti itu. Cukup menjolok. Dandanannya terkesan tidak peduli dengan blus pendek cokelat dan kulot putih.

Penampilannya terlihat tua. Dia juga tidak mirip dengan gadisku. Oh, Lila bukan atau belum menjadi gadisku.

“Kita masuk?”

Aneh. Lila malah menggeleng. “Tidak perlu. Kita tunggu sampai dia menyadarinya.”

“Menyadari apa maksudmu?”

“Menyadari keberadaanku yang terus memantaunya dari sini.”

Kulihat gadis yang ternyata bernama Ruby itu sedang bersemangat sekali dengan ceritanya. Dia duduk bersama seorang pria muda. Mungkin hanya beberapa tahun di atas usianya atau sepantaran, bisa jadi.

“Kau mengenal siapa pria yang duduk bersamanya?”

Lila hanya menggeleng tanpa melepas tatapannya menembus pintu kaca.

“Kurasa, dia hanya pura-pura tidak menyadari keberadaanmu.” Karena tidak sekali pun gadis muda itu mau menoleh ke arah kami. Dia sengaja tidak melakukannya. Berpura-pura.

“Ya. Dia memang sengaja.”

“Jika begitu, akan sulit menunggunya menyadari keberadaanmu. Apalagi, untuk datang menghampirimu ke sini, Lila.”

“Aku hanya perlu menyaksikan dia menoleh sekali saja untuk melihatku. Jika sudah terjadi, aku tidak perlu menunggunya mendatangiku. Aku yang akan menghampirinya.”

Ya, Lila-ku memang seluar biasa itu. Dengan usia mudanya, kupahami beberapa tindakannya sangat dewasa. Aku harus memiliki ide yang cemerlang untuk membuatnya bersedia menghabiskan malam panas bergelora bersamaku.

Ah, ini dia! Gadis bernama Ruby itu menoleh sekilas. Seolah sedang memastikan dengan matanya, apa Lila sudah beranjak pergi atau belum dari sini.

Dan ya, tentu saja! Lila, si kakak sepupu yang rela menjemputnya sampai ke sini, segera masuk dengan langkahnya yang mantap. Percuma untuk menghindarinya, gadis rambut jahe.

Kuikuti sampai ke dalam. Memastikan Lila tidak melakukan hal gegabah yang bisa menyakiti kedua wanita-wanita muda ini.

“Pulang.” Hanya itu yang diucapkan Lila. Dia selalu berhasil mengendalikan diri. Menjaga emosi tetap tidak meledak di depan wajahnya sendiri.

“Kau ini, apa-apaan.” Ruby meliriknya tajam. Peduli padaku sekilas dengan menatapku tanpa kedip di matanya.

Lila mendorong kening Ruby ke belakang. “Pulang kataku.”

Menahan malu, mungkin. Ruby mendengus. Tatapannya sekeras tekadnya saat menolak untuk pulang.

“Kau bukan ibuku. Jadi jangan bertingkah seolah kau berhak memperlakukanku seperti itu!”

Lila tampak jelas sekali tidak peduli dengan ucapan Ruby. Dia malah mendorong kening sepupunya lagi. Kali ini, sedikit lebih kuat. Kurasa begitu.

“Aku memang bukan ibumu. Tapi setidaknya, dengarkan aku. Akulah orang yang telah menerima semua limpahan masalahmu. Aku tidak akan menyusulmu seperti ini, andai kau orang yang kompeten dan bertanggung jawab.”

𝐃𝐄𝐕𝐈𝐋: 𝐃𝐄𝐕&𝐋𝐈𝐋𝐀 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang