25. Curiga

1.4K 267 0
                                    

—Devon Woody

Aku tidak bermaksud menghindari apa pun. Termasuk pertanyaan tentang mereka, terutama teruntuk gadis cantikku.

“Mereka masih sangat muda. Ke tiganya itu teman-temanmu? Bagaimana bisa?”

Sepertinya, ini jadi pertanyaan ke empat yang diulang Esme dalam pembicaraan yang berbeda. Dia mencurigai sesuatu, hanya pintar membuat rasa penasarannya terpenuhi dengan tidak mendesakku secara terus menerus.

“Bukannya aku sudah menjawabmu, Esme?” Sambil setengah tertawa, kuberikan segelas air untuknya.

“Begitukah?” Dia membalas tawaku. “Jawabanmu tidak memuaskan rasa penasaranku.”

“Mereka memang masih muda. Awal dua puluhan dan kami berteman.”

“Bagaimana bisa?”

“Hmm … aku tidak terlalu mengingat itu. Namun kurasa, ada beberapa hal yang membuat kami akhirnya berteman. Apa itu penting untukmu?” Karena mau tidak mau, aku jadi enggan membahasnya jika dia terlalu mendetailkan urusan pribadiku seperti ini.

“Tidak. Seperti kataku, aku hanya penasaran saja. Selama aku koma, mungkin beberapa hal menjadi kebiasaan barumu.”

Aku menepuk punggung tangannya. “Tidak apa. Penyesuaian itu membutuhkan waktu.”

“Benar. Sepertinya, banyak hal baru tentangmu yang tidak aku ketahui.”

Waktu tidak merubahku, sayang. Bisa dipastikan bahwa aku menjadi diriku sendiri, walau kini ada perasaan lain yang menjalari hatiku. Terasa mengikat. Itu mauku. “Dua tahun bisa jadi tidak terlalu lama, tapi mungkin rentang waktu yang tidak terlalu lama itu bisa membuat seseorang terus berkembang ke arah tertentu. Aku mencoba hal baru, Esme. Rasanya itu perlu selama kau tidak bersamaku.”

Esme mengangguk. Ada kepahitan jelas yang tergambar di perubahan raut wajahnya. Dia mungkin hanya merasa aneh akan caraku bergaul. Berhubungan dengan anak-anak yang usianya cukup jauh dariku. Dia bahkan belum tahu bahwa aku teramat menyukai salah satu wanita yang dilihatnya tadi di bandara.

“Aku mengerti, Sayang. Aku minta maaf karena telah meninggalkanmu sendirian terlalu lama.” Esme mendekat. Meletakkan gelasnya di meja dan duduk di atas pangkuanku.

Kulingkarkan lenganku di sekeliling perutnya. “Ini bukan salahmu.”

Dalam posisi seperti ini, aku terus mengingat wajah Lila yang tidak pernah berekspresi, bahkan ketika istriku berdiri di hadapannya. Apa yang kau pikirkan, Lila? Aku penasaran pada apa yang ada di benakmu.

“Sayang.” Esme berbalik. Mengubah posisi duduknya agar menghadap ke arahku.

“Hmm? Ada apa?”

“Aku ingin punya anak.”

𝐃𝐄𝐕𝐈𝐋: 𝐃𝐄𝐕&𝐋𝐈𝐋𝐀 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang