—Lila Winter
“Kita lihat nanti. Aku harus bicarakan ini terlebih dulu dengan suamimu.” Perasaan marah tiba-tiba menguasaiku lagi, bahkan lebih dari yang bisa kusembunyikan.
“Lila, tolong bujuk Devon agar dia mau melakukannya,” pinta Esme. Air mata entah sejak kapan sudah mengalir di pipinya. Dia sedang meraih tanganku untuk kemudian digenggamnya erat-erat.
Lihat, harus sampai kapan aku menatapi tingkah dan mendengarkan dia merengek padaku?
“Bersikaplah seolah-olah kau setuju. Bicaralah semeyakinkan mungkin. Bagaimana, Lila?”
Aku tidak mau!
“Jika Devon menolak, itu artinya kau tidak perlu melakukannya. Andai dia setuju, maukah kau memikirkannya lagi?” Esme membujuk lagi. Benar-benar tipikal pemaksa.
“Karena aku tidak pintar berkata-kata, sebaiknya siapkan kalimat yang harus kukatakan padanya agar dia menyetujui idemu ini.”
Baiklah. Akan kucoba. Bukan melakukannya, tapi bicara pada suami wanita ini. Andai si hot uncle setuju pun, aku belum merubah pikiranku tentang keenggananku mewujudkan keinginan tidak warasnya itu.
Kulihat Esme sedang menulis di secarik kertas kosong. Dia sangat fokus dan terburu-buru. Sebegitu ingin dia melihat suaminya meniduriku hingga hamil? Menggelikan sekali.
“Tolong hafalkan ini, Lila. Kau harus tampil menawan dan sungguh-sungguh di depannya. Jangan sekali pun terbersit keraguan di wajahmu. Aku harap, kau tidak akan membuat usahaku sia-sia.”
Kurebut kertas yang disodorkannya padaku. Kuusahakan sikapku tidak kasar. Kucoba juga memahaminya sedikit saja.
“Kita akan bertukar kabar setelah aku siap.” Berdiri dari dudukku, sekilas kuperhatikan bagaimana harapannya padaku masih menyala di matanya yang indah.
Esme memang memiliki semua keindahan itu, namun dia merasa gagal karena tidak mampu memberikan keturunan untuk Dev. Selain faktor usia, masalah kesehatan jadi yang paling utama.
Dari sini pun aku tahu rahasia Esme yang seharusnya tidak perlu kuketahui. Bahkan yang mengejutkan, ternyata selama dua tahun belakangan, dia pernah mengalami koma karena sebuah kecelakaan.
Kini tidak mengherankan lagi bagiku, kenapa Dev terkesan ‘kesepian’ dalam artian lain. Dia tertarik untuk merasakan diriku, karena mungkin saja, hasrat Esme yang sudah berusia sama atau sepantaran Dev itu mulai berkurang.
Berengsek! Aku tertipu? Entahlah. Aku hanya ingin marah dan marah!
Inilah hari di mana aku datang menemui Dev ke rumahnya dan meninggalkan ruangan untuk membiarkan Esme menyelesaikan sisanya. Seperti dugaanku, Dev menolak. Dia masih sangat waras bila dibandingkan dengan istrinya.
Tapi, aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Toh, aku tidak akan mau melanjutkan apa pun, andai Esme berhasil membujuk suaminya. Sesekali, dari sini aku bisa mendengar suara Dev yang beremosi tinggi.
Jelas sudah. Dia sangat mencintai istrinya. Meskipun wanita itu adalah aku, tidak akan mungkin dia mau melakukannya di depan Esme.
Mereka pasangan bodoh! Jika dalam lima menit, salah satu dari mereka tidak keluar menemuiku, tidak perlu berpikir dua kali untuk meninggalkan tempat ini.
“Lila?”
Layaknya hantu. Kemunculannya halus, tanpa suara. Aku sedikit tersentak, walau bagusnya, seperti biasa wajahku tampaknya tidak berekspresi apa pun.
Mulutku sudah terbuka untuk menyambutnya dengan amarah, tapi tertutup kembali saat melihat Dev ada di belakangnya.
Entah pria itu mengendap-ngendap atau Esme sengaja mengajaknya, tapi yang jelas, biarkan si hot uncle tahu rencana gila istrinya ini dengan lebih jelas lagi.
“Hanya tinggal sedikit lagi sampai suamiku benar-benar setuju, Lila.” Kegelisahan itu membuatnya seperti mayat hidup.
“Sudah kukatakan, dia tidak akan setuju. Sebaiknya, lupakan rencanamu untuk membujuknya karena aku pun tidak bisa merubah pendirianku. Sejak awal, aku tidak setuju dengan idemu.” Sekilas, aku melihat ke arah Dev yang mematung di sana. Di balik sisi lemari tua yang menjulang tinggi di belakang Esme.
“Lila … tolong pelankan suaramu, okay?” Esme cemas. Lebih cemas dari yang pernah dia tunjukkan di depanku. “Devon tidak—ah, sudahlah. Yang penting, aku ingin kau mencobanya lagi.”
Enak saja! “Tidak. Kesepakatannya bukan begitu, Nyonya Woody. Jangan membuatku kesal dengan ucapanmu yang mendadak ingkar.” Emosi akhirnya menguasaiku.
“Dalam hidupku, hanya ada ayah dan ibu yang boleh memerintahku. Tidak ada siapa pun lagi setelahnya, terutama kau.” Aku sudah berbalik pergi. Melangkah cepat dan seseorang yang bukan Esme pastinya, menarik kasar lenganku.
“Lila, minta maaf.” Dev yang sedang memegangi lenganku, mengusap lembut bagian dalam kulit lenganku yang tidak bisa dilihat mata lain di belakang sana.
Ini mirip permainan. Hanya saja, berisiko besar. Bukan hanya tentang keberlangsungan hubungan mereka berdua, tapi juga tentang bagaimana hidupku berkembang setelah jadi orang ketiga. Namun tidak akan terjadi! Aku tidak mau jadi perusak!
Bergeming, aku hanya menatap Esme yang ada tidak jauh dari balik punggung Dev. Jika begini, tentu aku menjadi pihak yang bersalah, bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐃𝐄𝐕𝐈𝐋: 𝐃𝐄𝐕&𝐋𝐈𝐋𝐀
Romance𝟐𝟏+ 𝐀𝐫𝐞𝐚 𝐝𝐞𝐰𝐚𝐬𝐚. 𝐓𝐞𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠 𝐃𝐞𝐯 𝐝𝐚𝐧 𝐋𝐢𝐥𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐭𝐞𝐫𝐣𝐞𝐛𝐚𝐤 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐡𝐮𝐛𝐮𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐩𝐞𝐫𝐧𝐚𝐡 𝐛𝐢𝐬𝐚 𝐦𝐞𝐫𝐞𝐤𝐚 𝐩𝐞𝐫𝐭𝐚𝐧𝐠𝐠𝐮𝐧𝐠𝐣𝐚𝐰𝐚𝐛𝐤𝐚𝐧.