20. Penghuni Panti

1.5K 270 0
                                    

—Lila Winter

Kakaknya? “Siapa kakakmu? Dia temanku?”

“Setahun lalu, dia bekerja di Winter Company. Sepertinya kalian tidak berteman. Seingatku, kata kakakku, kalian berbeda divisi.”

Ah, begitu. Aku mengangguk. Karena dia tampaknya tidak ingin menyebutkan siapa nama kakaknya, aku juga enggan menanyakannya lagi. Karena jujur saja, aku tidak ingin terlihat memaksa atau terlalu antusias pada orang asing.

“Kakakku berhenti bekerja di sana, demi aku dan ibuku.”

Mungkin aku harus bertanya. “Dia kakak yang baik.” Tidak bisa sekarang. Karena raut wajahnya menjadi sendu dan langkah kami sudah tiba di depan panti asuhan.

“Sangat baik dan membanggakan.” Haidan mengangguk. Kesenduan di wajahnya belum hilang. “Aku akan bersiap-siap.”

“Okay,” anggukku cepat. Melihat Ruby dan yang lain sedang menatap kami di undakan terakhir anak tangga yang terbuat dari semen dingin, bukan keramik.

Haidan berbalik lagi padaku dengan gitar di tangannya. “Bersediakah kau mendengarkanku bernyanyi bersama Ruby dan mengomentarinya nanti?”

Kuanggukkan kepala dengan senyum sekilas. “Tentu.”

Kami disambut oleh pemilik panti asuhan Smith Orphanage dan beberapa orang yang mengelola tempat ini. Rata-ratanya mereka seusia ibuku dan hanya ada pria sebagai pimpinannya.

Seorang wanita muda penghuni panti, duduk di sampingku. Aku terpisah dari Dev dan Gray, karena mereka terus terlibat perbincangan dengan pemilik panti asuhan.

Rasa ingin tahuku tiba-tiba muncul, saat kulihat ada anak-anak seusia Ruby yang berkumpul di sudut ruangan. Mereka tidak bergabung dengan yang lain.

“Kenapa mereka memisahkan diri dari kita semua?”

Gadis di sebelahku yang mungkin berusia sepantaran denganku ini, mengiyakan dengan anggukkan.

“Benar. Entah kenapa mereka terus mengasingkan diri dari kami sejak mereka tiba di sini beberapa bulan lalu. Kami bahkan tidak tahu alasannya. Padahal, tidak ada penghuni lama yang memeperlakukan penghuni baru dengan tidak baik.”

“Apa … mereka berbeda dari kalian?” Meski aku tahu bahwa yang kumaksud itu sama dengan kenyataan akan status gadis-gadis itu, aku tetap bertanya. Memastikan.

Gadis ini menatapku lekat-lekat. Lalu melihat lurus ke depan, saat suara petikan gitar Haidan jadi pembuka yang mengalun merdu.

“Mereka lari dari rumah pelacuran. Satu persatu datang ke sini, tapi berasal dari tempat yang berbeda.”

Aku mengangguk. Mengerti bahwa mungkin para gadis itu merasa rendah diri hingga mengucilkan diri mereka sendiri. “Kenapa lari ke sini?”

Dia menggeleng. Tampak sama bingungnya denganku. “Setiap kami bertanya pada kepala panti, dia hanya menjawab dengan senyum dan mengatakan bahwa kami sebaiknya menerima mereka, daripada mempertanyakan hal itu.”

𝐃𝐄𝐕𝐈𝐋: 𝐃𝐄𝐕&𝐋𝐈𝐋𝐀 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang