24. Kekurangajaran Gray

1.5K 275 3
                                    

—Lila Winter

Apa? Dan ya, meski begitu, sekejap mata aku berhasil termakan gertakan Gray. Aku menurutinya lagi dan membiarkannya menyeretku sampai ke dalam rumah. Apa sekarang aku takut dengan ancamannya?

“Sekali lagi kau berani mengancamku—hmmph!”

Tidak kuduga, sama sekali tidak. Bocah sialan ini menciumku saat dia berbalik untuk menutup pintu di belakangku. Awas saja jika dia berdalih ini terjadi karena ketidaksengajaan.

Menginjak punggung kakinya, dia tidak bergerak atau menjerit kesakitan. Aku mendapat kesempatan untuk berteriak marah, tapi pria muda ini justru memasukkan paksa lidahnya ke dalam mulutku.

Bocah sialan! Aku terengah ketika Gray akhirnya melepas belitan dari lidahnya dan menjauhkan bibir kami dalam sedikit jarak.

“Aku lebih baik darinya, Lila.”

Dengan satu tamparan yang mendarat di pipi Gray, aku mendapat hadiah lain yang lebih mengejutkan setelahnya.

Dia mengangkat tubuhku menuju sofa, meski berulang kali aku meronta dengan menendang dan memukul tubuhnya. Hasilnya sama saja. Gray sekuat yang tidak pernah kupikirkan sebelumnya.

Seperti sosok lain. Apa selama ini dia menyembunyikan kekuatan pria dewasanya di balik tubuh mudanya itu?

Gray menindihku. Walau tidak ada tangan nakal yang meraba tubuhku, tapi kurasa tatapannya sudah menjalar di seluruh tubuhku.

“Aku hanya menjinakkanmu, Lila. Tidak akan ada pemaksaan. Aku cuma ingin kau tahu, bocah yang kau remehkan ini, tidak lebih buruk dari pria dewasa beristri yang kau sukai itu.”

Aku berniat untuk menamparnya lagi, tapi yang kali ini, ditahan dengan cepat olehnya. “Jangan kasar, Lila. Aku sudah cukup dengan sikap aroganmu selama ini. Terhitung sejak kita bertemu.”

Sepasang matanya yang gelap, seakan menelanku tanpa sisa. Dia tersenyum. Membuatku merasa ngeri.

“Apa Ruby tahu sahabatnya ini memelihara kepribadian lain dalam dirinya?”

“Hanya kau dan ayahku yang tahu.”

Omong kosong! “Kau hanya sedang menyembunyikan identitas aslimu selama ini di depan orang-orang, Gray. Inilah dirimu yang sebenarnya, bukan?”

“Pintar.” Dia menyentuh pipiku. “Sebenarnya, aku lelah dengan sikap manis dan penurut seperti yang biasa kuperlihatkan pada orang-orang.”

“Kusarankan untuk menjadi dirimu sendiri. Aku menasihatimu, karena kau sahabat dari sepupuku dan adikku.”

“Tidak perlu, Lila.” Gray berpindah dari atas tubuhku. Dia duduk di sofa sambil mengawasiku.

“Dasar berengsek.” Aku mengumpat langsung di depan wajahnya.

Gray terbahak dan mengeluarkan sesuatu dari dompetnya. Itu foto ibunya. Padahal aku sudah melihatnya beberapa waktu lalu.

“Lihat ... wanita ini memang yang melahirkanku. Namun sayangnya, aku anak yang tidak diharapkan olehnya.” Gray tertawa sinis. Tidak terlihat sama sekali seperti bocah sialan yang biasa kukenal.

“Semua anak di dunia ini juga tidak terlahir jika bukan karena kedua orang tuanya.”

Gray kembali bertingkah. Menyandarkan kepalanya ke pundakku yang sedang memegangi potret ibunya.

“Kau benar, tapi ayahku selalu menyalahkanku atas kematian ibu.”

Apa ini juga bagian dari omong kosongnya? “Itu emosi sesaat.” Walau kesal dan ingin menendang kepalanya, aku menahan diri karena cerita sedihnya belum pernah kudapatkan dari kedua orang tuaku selama dua puluh lima tahun hidupku.

“Emosi sesaat.” Sambil tertawa hampa, Gray mencibir.

“Atau kau punya alasan lain?” Ini sebenarnya rasa ingin tahuku.

Gray menarik kepalanya menjauh dariku. Menatapku dari samping. Aku bisa merasakannya.

“Karena sejak awal, mereka tidak ingin memiliki seorang anak. Hidup bebas dengan seks yang bebas pula.”

Aku seketika menoleh untuk menatapnya. Kuusahakan untuk tidak menetapkan emosi di wajahku seperti yang berhasil kulakukan selama ini. Tanpa ekspresi terbaca.

“Ayahmu membencimu sampai saat ini?”

Gray mengangguk. “Itu sebabnya aku meninggalkan rumah. Mengurus diriku sendiri. Memutuskan hubungan anak dengan ayahnya sejak usiaku masih enam belas tahun.”

“Tapi kau tidak harus jadi orang lain di depan siapa pun.”

“Itu diperlukan, Lila. Aku butuh uang untuk memenuhi kebutuhan hidupku. Orang-orang tidak mementingkan minat kerja sebagai modal utama, tapi sikap dan tingkah yang baik jadi nomor satu agar mereka bersimpati padaku, lalu mengizinkanku bekerja dengan mereka.”

Ada benarnya. Terkadang, bahkan seringkali, orang-orang menilai sesuatu dari sampul luarnya. Halaman depan dan utama harus jadi yang terbaik. Wajah dari produk itu sendiri. Citra baik memang wajib dipertahankan.

Sama seperti Winter Company yang sangat memperhatikan hal itu dari waktu ke waktu. Secara turun temurun.

Menarik perhatian dan simpati dengan rajin mengadakan acara amal. Lalu, menindak tegas para perusuh di dalam perusahaan yang berpotensi merusak nama baik Winter Company. Entah itu disengaja atau tidak.

Wajah perusahaan memang sangat penting. Menjadi yang paling utama.

“Namun kau akan terbiasa bersikap seperti itu, karena kau selalu mengusahakannya setiap hari.” Aku tidak ingin tahu kenapa dia memilihku untuk mengetahui rahasianya.

“Tapi, aku tidak tahan untuk tidak menunjukkannya padamu, Lila.”

𝐃𝐄𝐕𝐈𝐋: 𝐃𝐄𝐕&𝐋𝐈𝐋𝐀 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang