28. Melakukannya Bersama

1.5K 262 0
                                    

—Lila Winter

Saat Gray tertawa setelah mengatakannya, aku sedikit bangkit untuk mencubit punggung tangannya yang berada di atas meja, alih-alih menginjak kakinya lagi.

“Bernyali sekali kau, bocah!”

Gray tertawa lepas. Dia menggeleng tanpa menghentikan tawanya. Masih tergelak sampai beberapa detik.

“Walau begitu ingin mengatakan hal itu, aku tetap menahan diriku. Masih ada banyak hal yang perlu kusiapkan sebelum akhirnya melamarmu melalui ayahmu.”

Untuk yang ini, aku tidak ingin mempercayai keseriusannya. Dia masih bocah? Bukan. Bukan itu. Hanya saja ….

Ah, entahlah! “Jadi, apa kata ayahku tentang kau yang meminta izin darinya?” Itu hanya pengalihan. Aku tahu ayahku pasti mengizinkan, tanpa perlu dia memintanya untukku. Aku hanya tidak ingin membicarakan tentang hal yang tidak ingin kudengar.

“Tentu saja ayahmu mengizinkan. Tuan Kaiser Winter yang selama ini hanya kudengar namanya dari adikmu. Dia benar-benar sosok yang sempurna sebagai seorang ayah.”

Ray sering menyebut nama ayahku di depannya? Kenapa? “Ray jarang bicara dengan ayahku. Sebenarnya, aku juga.” Walau rasa-rasanya, Ray lebih segan pada ayah daripada diriku.

“Itu tidak masalah. Kalian saling memuja dalam diam.” Ucapan yang mengandung rasa iri. Gray tersenyum padaku.

Memang seperti itu. Dia memahaminya karena mungkin ayahku, menunjukkan kekaguman yang sama pada kami—anak-anaknya—di depan Gray. Walau ayah tidak akan memperlihatkannya langsung padaku atau Ray.

“Okay. Akhirnya aku tidak memerlukan izin darinya.”

Gray tertawa. Menaikkan alisnya dengan mempertahankannya di sana beberapa detik. “Memang sejak awal kau tidak memerlukan izinnya, Lila. Itu hanya alasanmu saja.”

“Benar.” Kuakui itu tanpa rasa bersalah. Membalas dengan ikut menaikkan alisku juga. “Jadi kapan kita akan memulai pemotretannya? Aku butuh menyesuaikannya dengan jadwal kerjaku.”

Menggosok kedua telapak tangannya dengan kilatan kegembiraan dan semangat di matanya, dia berkata padaku. “Aku sudah menyesuaikannya untukmu. Kau hanya perlu setuju dan menyiapkan dirimu saja, Lila.”

“Wah, kau benar-benar serius, ternyata.”

Dia mengangguk. “Bayarannya sepuluh kali lebih banyak daripada ketika aku melakukannya sendirian.”

Aku tahu dia menggantungkan hidup menggunakan aset paling berharga yang dia punya. Tubuh dan wajah. Meski aku tidak tahu bagaimana bisa dia menghidupi dirinya hingga mampu memiliki mobil dan rumah sendiri.

“Okay. Ayo, lakukan.”

Akhir pekan. Minggu siang yang terik. Gray menjemputku di rumah. Katanya, kami akan melakukan pemotretan di sebuah studio di pinggiran kota.

“Konsepnya, pekan ceria dengan warna dan tampilan segar. Kalian juga akan diwawancarai beberapa hal untuk dimuat di kolom tamu sampul.” Seorang wanita dengan kamera di leher, menjelaskan sambil tersenyum ramah padaku, terutama pada Gray. Kemudian mereka tampak membicarakan sesuatu yang tidak kutahu.

Pemuda satu ini paling bersemangat ketika tiba waktunya untuk berganti kostum. Pakaian yang disediakan sudah sesuai dengan ukuranku dan Gray, sepertinya.

Pakaian kasual dengan warna merah muda dan kuning terang, lalu rambutku diubah menjadi kepang dua tinggi yang kesannya seperti pemain tenis, membuatku diriku jauh berubah. Menampilkan citra yang sangat berbeda denganku.

“Wah, kau tampak seusia denganku, Lila.”

Dengan kesal, aku mengibaskan ekor kepangku nyaris mengenai wajahnya. Bahkan mungkin ujungnya sudah menampar hidungnya. “Aku hanya lebih tua empat tahun darimu. Wajahku tidak setua ucapanmu, Gray.”

Entah sadar, sengaja atau itu gerak refleks, Gray mengusap-usap kepalaku tanpa merusak tatanan rambutku yang sudah tersisir rapi. Begitu lembut, penuh perasaan.

“Maka dari itu, jangan pernah memperlakukanku lagi seperti bocah, Lila.”

𝐃𝐄𝐕𝐈𝐋: 𝐃𝐄𝐕&𝐋𝐈𝐋𝐀 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang