26. Mendatangi Api

1.4K 266 2
                                    


—Devon Woody

Untuk keinginannya ini, aku dibuat terkejut. “Bayi maksudmu?”

Esme mengangguk pelan. Tidak mengalihkan tatapannya walau hanya sedetik. “Bayi dari rahimku sendiri. Bagaimana menurutmu?”

“Apa itu mungkin?”

“Kenapa tidak? Kau tidak yakin aku bisa mengandung seorang bayi?” Suaranya sedikit meninggi. Dia tersinggung.

“Bukan masalah aku yakin atau tidak, Esme. Apa kau tidak paham akan kondisi tubuhmu sendiri?” Karena kurasa masalah ini hanya akan menjadi perdebatan yang panjang, aku menggerakkan tubuh Esme sebagai isyarat agar dia pergi dari pangkuanku.

Esme bangkit. Berdiri dengan tangan terlipat di depan dada. Dia jadi gelisah, bahkan mondar-mandir di depanku.

“Aku baik-baik saja. Kata dokter, tidak ada masalah denganku. Itu artinya, aku memiliki peluang untuk bisa hamil.”

Aku menggeleng. “Usiamu. Apa kau ingat berapa usiamu saat ini?”

“Kau membuatku kecewa karena mengingatkanku pada usiaku yang sudah terlambat untuk hamil.”

“Tidak ada yang terlambat, tapi kau harus memikirkan banyak hal sebelum benar-benar memutuskan untuk hamil.” Walau aku tidak mungkin mengatakan bahwa aku tidak mengharap apa pun lagi darinya.

Esme duduk di tepi ranjang. Pandangannya tidak lepas dariku, seolah meminta dukungan dariku.

“Esme, kenapa baru sekarang?”

Dia menatapku dengan kesedihan yang tidak ditutupinya sama sekali dariku. “Aku ingin lebih mengikatmu lagi. Dengan adanya bayi di antara kita, kemungkinan kau akan meninggalkanku itu sangat kecil.”

Entah apa yang ada dalam pikirannya sejak bertemu dengan ke tiga anak muda itu, yang jelas, keinginan istriku ini berpeluang terkabul walau aku enggan membantunya mewujudkan itu semua. Jangan tanyakan kenapa. Kalian sudah tahu jawabannya.

“Kita tidak akan tahu risiko seperti apa yang akan mengintaimu, Esme. Kau bahkan masih butuh pengecekan rutin ke dokter Viggo. Kenapa harus menambahkan beban lain untuk dirimu sendiri?”

Esme menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Dia sangat frustrasi. Aku tahu tentang hal itu.

“Utamakan kesehatanmu, Esme. Kau baru saja bangun dari komamu. Sejak awal kita menikah, tidak ada rencana darimu bahkan aku juga tidak mengharuskanmu untuk hamil.”

“Aku … aku hanya takut kau bosan padaku. Seharusnya, kita membangun keluarga kecil seperti pasangan normal lainnya.”

Aku tertawa. Tidak dengan hatiku yang terasa panas, marah sebenarnya. Dia menginginkan bayi hanya untuk mengikatku selamanya di sisinya? Itu egois.

“Tidak selalu seseorang yang menginginkan keturunan, beralasan agar hubungan dengan pasangannya tak terasa membosankan. Bukan hanya seperti itu, Esme.”

“Aku tahu.” Dia mengangguk. Memainkan kuku-kuku jarinya. “Tapi salah satu rasa bosan dalam berumah tangga itu karena tidak adanya buah hati di antara mereka.”

“Kau benar, tapi itu tidak berlaku untuk semua pasangan yang ada.”

“Termasuk kau?” Mendekat, Esme berlutut di depanku yang masih duduk. Dia meraih tanganku dan membawanya ke puncak kepalanya. “Jawab aku, Sayang.”

Kuusap rambutnya dengan kesungguhan. “Benar. Aku termasuk ke salah satunya yang tidak mempermasalahkan perihal keturunan.”

Menghela napas lega, raut wajah Esme mulai menunjukkan ekspresi mengiba. “Kau tidak akan meninggalkanku karena alasan apa pun, bukan?”

Seharusnya, begitu. Namun aku sadar bahwa saat ini akan ada banyak perbedaan. Aku yang berada di waktu sekarang, mulai berat untuk mengutarakan perasaanku yang sesungguhnya pada Esme. Terlalu sulit untuk memutuskan apa yang harus kulakukan di antara dua wanita dalam hidupku.

“Devon, apa yang kau pikirkan? Apa pertanyaanku terlalu sulit untuk dijawab?”

Aku tidak boleh membuatnya bersedih, tapi aku juga tidak bisa mengendalikan perasaanku sesuka hati seperti saat dulu sebelum kedatangan wanita itu, Lila Winter.

Sekarang semuanya jadi berbeda. Menyulitkan. “Aku sedang berpikir bagaimana caranya agar tubuhmu kembali sehat dan pikiranmu kembali jernih seperti dulu.”

Kening Esme terlihat mengerut. “Apa maksudmu?”

“Kau yang dulu nyaris tidak pernah melontarkan pertanyaan aneh seperti ini padaku. Kau yang dulu, sangat mempercayaiku. Dan kau yang dulu, tidak memiliki waktu untuk berpikiran buruk pada orang lain, termasuk padaku juga.”

Mulut Esme terbuka sedikit mungkin untuk menjawabku. Entah dengan alasan apa, dia menutupnya lagi rapat-rapat.

“Devon, Esme.” Suara panggilan terdengar dari balik pintu. Suara kakak ipar.

“Makan malam sudah siap. Sebaiknya kalian segera keluar sebelum makanannya jadi dingin.” Masih dari luar pintu, tidak terdengar suara ketukan yang artinya dia tidak perlu melihat salah satu dari kami membukakan pintu untuknya.

“Baik, Kak. Kami akan segera turun.” Esme yang menjawab, bukan aku.

Kurasa selama ini, istriku dan kakak ipar sering berkomunikasi. Apa sebelumnya dia sempat memberitahu pada Esme  perihal aku dan Lila?

“Ayo, kita sudahi saja pembicaraan ini. Intinya, kau tidak perlu hamil untuk mengikatku tetap berada di sisimu.”

Setelah tidak mendapat bantahan apa pun selain anggukkan kepala, kami turun untuk makan malam bersama. Aku tahu ada banyak hal yang mengganggu pikirannya, tapi dia tampaknya memutuskan mengalah padaku kali ini.

Tepat ketika Esme dan kakak ipar membereskan meja makan, aku mengajak Sean untuk bicara di halaman belakang.

“Sean, apa istrimu berhubungan cukup dekat dengan istriku akhir-akhir ini?”

Sean berpikir sejenak. Terlihat jelas dia seperti tidak tahu menahu tentang hal itu.

“Aku tidak yakin. Tapi, bisa saja itu terjadi.” Sean menatapku dalam artian yang berbeda. “Ada apa?”

“Kurasa kau sudah tahu meski aku tidak mengungkapkannya secara langsung.”

Sean menghela napas. Aneh rasanya melihatnya beraut wajah seakan dia lelah padaku, menghadapiku.

“Meski aku sudah tahu tentang hal itu, aku sungguh berharap kau tidak sungguh-sungguh dengan hal itu.”

Aku tidak bodoh untuk mengartikan maksud ucapannya. “Jika aku bersungguh-sungguh, apa yang akan kau lakukan?”

Sean terkejut. Dia menatapku dan meneliti keseriusan ucapanku lewat raut dengan sedikit emosi itu, lalu akhirnya memalingkan wajahnya dariku.

“Aku tidak akan melakukan apa pun. Itu keputusanmu, tapi aku sungguh berharap kau bertanggung jawab dengan pilihanmu. Tanpa perlu mengecewakan siapa pun.”

Itu mustahil. Bagaimana bisa ada pihak yang tidak kecewa jika berada dalam situasi seperti yang sedang kualami saat ini?

Jelas Esme akan jadi satu-satunya orang yang paling tersakiti dalam cerita cintaku.

“Kau yang mendatangi api atau api yang lebih dulu membakarmu?”

Aku tersenyum mendengar pertanyaan serupa begini. Rasa-rasanya, aku ingat dengan perumpamaan ini sebelumnya.

“Aku yang mendatangi api terlebih dulu. Bahkan kubiarkan diriku masuk ke dalam kobaran api, sebelum dia membakarku.”

𝐃𝐄𝐕𝐈𝐋: 𝐃𝐄𝐕&𝐋𝐈𝐋𝐀 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang