38. Di Bioskop

1.4K 242 2
                                    

—Lila Winter

Perlu jeda sebelum akhirnya aku mengutarakan permintaanku padanya. “Jangan lagi menemuiku. Aku juga tidak akan menemuimu. Di mana pun, jika kita bertemu lagi, berusahalah untuk saling mengabaikan satu sama lain.”

Dev menyembunyikan apa pun ekspresi yang biasanya bisa kubaca tanpa kesulitan. Jangan harap kali ini aku bisa menebaknya.

“Kau yakin?” Nada pertanyaannya pun sama datarnya.

“Aku yakin.”

Kupikir, akan ada helaan napas dan seruan kasar atau bahkan geraman nakal darinya. Tidak. Aku sungguh tidak berharap. Hanya sempat berpikir demikian.

Dia mengangguk, bahkan tidak ada ekspresi yang bisa menjawab rasa ingin tahuku. “Baiklah. Kuharap kau senang dengan pilihanmu.”

“Tentu. Karena bagaimanapun, kesehatan istrimu masih jadi yang paling utama. Bahkan aku yang berasal dari pihak luar berpikir ini.”

Karena yang kubicarakan adalah Esme, maka pasti akan memberi dampak serius padanya. Dan memang, dia terlihat tegang, namun dalam batasan yang wajar. Selangkah lebih maju dari posisinya sejak tadi, kali ini dia ada di dekatku untuk mengancamku, jika kulihat dari raut wajahnya yang mulai berekspresi. Pengaruh sang istri sangat luar biasa.

“Jangan membuat dirimu pantas untuk mengasihani istriku, Lila.”

“Aku hanya bersimpati. Itu saja.” Walau entah apa yang benar, aku ragu mengutarakannya pada Dev. Ada sesak yang kucemaskan akan jadi penghalang baru untukku.

Dev hanya menggeleng dengan tatapan seolah dia begitu menyayangkan sikap atau ucapanku. Dia berlalu setelah menolak para pegawai butik ibuku yang menawarinya bantuan, sebelum mencapai pintu depan.

Pria beristri. Aku salah dengan membiarkannya mendekatiku. Tidak akan ada lagi kali kedua untuk mereka, terutama Esme. Wanita itu tidak pernah boleh ada di dekatku lagi.

“Lila?”

Aku enggan menoleh karena menghafal suara dari sisi kananku. Niat hati ingin menonton film seorang diri di jam sepi, malah ditemukan oleh si bocah Gray yang mengukir senyum kuda di depan wajahku.

“Kenapa kau ada di sini?” Aku melihat jam tanganku. Filmnya akan dimulai enam menit lagi.

“Tentu saja untuk menonton film. Apa-apaan dengan pertanyaanmu itu?”

“Maksudku—”

“Aku pengunjung tetap bioskop ini. Menjelang tutup, aku selalu menyempatkan diri untuk menonton film yang masuk daftar tunggu milikku.”

Oh, ya? Bagus sekali! Di antara banyaknya bioskop di kota ini, kenapa dia memilih bioskop tua begini?

“Kau pasti senang karena kita akan menonton film dengan judul yang berbeda.”

“Oh, tentu. Itu dia kabar bagusnya, Gray.”

Dia mencibir. Menirukan ucapanku sambil menjulurkan lidah. Dasar bocah yang tidak suka dipanggil bocah!

Tiba-tiba saja mataku menangkap sosok Dev dan pendampingnya sedang mengantri di counter makanan ringan.

“Pasangan King dan Queen. Mereka menyebalkan, bukan?” Gray berbisik dengan sengaja melebih-lebihkan suaranya hingga serasa merusak telingaku.

Kenapa harus bertemu lagi? Bahkan pertemuan terakhir kami belum genap lima jam yang lalu. Benar-benar sangat menguji kesabaranku. Kurasa, sepulang dari sini, aku bisa meminta ayahku agar membeli tempat ini hanya untukku seorang. Meski ayah tidak akan langsung menyetujui usulanku, apalagi mengabulkannya dalam sekejap mata.

Aku masuk sebelum mereka menyadari keberadaanku, apalagi sampai melihatku.

Film sudah akan dimulai. Tidak sedetik pun aku mencoba melirik ke kanan kiri, terutama memutar kepala ke belakang. Beberapa orang lalu lalang di depanku, melewatiku. Dan kiri kananku rasanya sudah terisi penuh.

“Aku datang untukmu,” bisik suara di sisi kiriku.

Rasanya aku ingin menyiramkan cola ke wajahnya. Kutahan diri sambil menggeram tanpa menoleh. “Aku tidak memintamu untuk menemaniku. Menonton sendirian jelas lebih menyenangkan. Aku baik-baik saja.”

“Hei, jangan terlalu percaya diri. Aku hanya penasaran dengan film yang kau tonton.”

Menghela napas, tiba-tiba aku teringat sesuatu ketika di layar bioskop terlihat si pemeran utama pria masuk ke kamar baru yang asing baginya.

“Kau juga merasakan hal seperti itu saat berada di rumahku?”

“Awalnya.”

“Lalu, kenapa kau bertahan?”

“Kita bahas ini saat sudah keluar dari gedung bioskop, okay?”

Aku diam dengan film yang masuk semakin dalam hingga keseruannya membuat beberapa penonton, termasuk Gray, berteriak karena terkejut.

Jujur saja, sebenarnya, aku pun terkejut. Tapi karena beberapa hari lalu aku sudah lebih dulu melihat trailer-nya, rasa terkejut bisa kuantisipasi di bagian ini.

Film selesai dalam satu jam tiga puluh sembilan menit. Singkat memang, tapi sepertinya film ini dibuat khusus agar para penggemarnya menunggu musim kedua pembuatan filmnya.

“Pantas saja kau tidak terkejut.” Gray menggerutu.

Sengaja kutahan dia untuk keluar dari gedung bioskop, setelah pasangan sialan itu pergi lebih dulu. Sungguh berharap mereka tidak melihatku. Tapi kemungkinan, pasangan suami istri itu sempat melihat Gray karena si bocah ini sengaja memperlihatkan diri.

“Sepertinya, pria beristri itu tahu kita berada di ruangan yang sama dengannya.”

“Aku tidak peduli selama dia tidak menyapaku.”

“Ada apa dengan kalian, Lila?”

𝐃𝐄𝐕𝐈𝐋: 𝐃𝐄𝐕&𝐋𝐈𝐋𝐀 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang