37. Hanna Winter

1.4K 265 2
                                    

—Devon Woody

“Apa yang kau lihat?” Dia sudah berhenti di depanku. Entah sejak kapan. Suaranya datar sedatar ekspresinya.

“Aku bukannya melihatmu. Ini tempat luas dan terbuka. Jangan terlalu percaya diri.” Sekarang, aku mencoba berbalik. Memunggunginya.

Aku lupa aku harus ke mana. Bahkan tidak ingat apa yang Esme minta padaku sebelumnya. Susu? Cokelat? Atau apa?

Wanita muda yang bahkan langkah kakinya tidak menimbulkan suara itu berjalan melewatiku. Entah bagaimana, aku justru mengikutinya.

“Jangan mengikutiku, Dev.”

“Aku tidak mengikutimu.” Kakiku-lah yang melangkah sendiri. Aku bingung dengan anggota tubuhku. Bahkan hidungku mengendus aromanya yang lembut. Mataku tidak lepas dari rambutnya yang tergerai indah. Segelap warna matanya.

Lila berhenti mendadak hingga aku pun menabrak tubuhnya yang berjalan di depanku. Itu refleks, sungguh. Anggota tubuhku tidak ingin bekerjasama dengan hati dan pikiranku.

Rambut Lila beraroma buah segar. Seperti perpaduan mangga dan jeruk. Manis, sekaligus menyegarkan.

“Katakan tujuanmu, Dev.” Lila berbalik, mengarahkan matanya ke kiri. Itu sebuah butik. “Kau memang berniat ke sini? Ini butik ibuku. Ada yang ingin kau beli?”

Aneh melihatnya banyak bicara. Seolah dia sengaja membuatku semakin tidak bisa melupakannya. 

Mengangguk. Sudah kukatakan bahwa anggota tubuhku tidak bisa diajak bekerjasama dengan keinginanku. “Aku perlu membeli beberapa pakaian baru untuk istriku.”

Dan sungguh, aku tidak tahu ukuran gaun atau pakaian yang biasa dipakai Esme.

Kuikuti dia dengan langkah perlahan. Lila pun seakan melakukan hal yang sama. Begitu lambat seolah waktu terhenti hanya untuk kami berdua.

Dia membukakan pintu untukku dan masuk lebih dulu. Dua pegawai muncul dengan senyum, menyambutku.

“Apa ada yang Anda cari, Tuan?”

Aku mendengar salah satu dari mereka bertanya, tapi Lila sudah menghilang.

Sekarang aku menyesal, sekaligus kebingungan. Kenapa Lila begitu mudah membuatku terlena? Seakan terhipnotis, sekarang, tanpa dia di depan mataku lagi, aku kembali tersadar bahwa ini tidak benar.

Penyesalan seakan tidak ada artinya jika mata ini sudah melihat sosok dari wanita yang nyaris membuatku setengah gila!

“Selamat sore, ada yang bisa kami bantu untuk Anda?”

Suaranya yang lembut, membuatku berbalik. Lila di sana bersama seorang wanita paruh baya dengan rambut sedikit ... merah?

“Selamat sore. Aku hanya sedang kebingungan memilih pakaian yang tepat untuk istriku.” Mataku menatapnya. Menilainya sebagai seseorang yang rasanya tidak asing seolah aku mengenalnya.

“Perlu bantuanku, Tuan?” Dia bertanya lagi. Suaranya, sedikit memiliki unsur suara Lila.

“Aku bahkan tidak tahu ukuran dan seleranya.”

Dia melirik Lila. “Mungkin putriku bisa membantu. Bagaimana, Lila?”

Lila menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Antara benci atau bertujuan menghinaku. Tunggu. Putriku? Lila anak dari wanita lembut di depanku ini? Dia ibunya?

Dan aku tidak terkejut ketika tangan kanan ini terulur lebih dulu ke hadapannya. “Perkenalkan, Nyonya. Namaku, Devon Woody.”

Dengan wajah penuh kehangatan dan kegembiraan yang sangat bisa dibedakan dengan wanita di sisinya itu, dia menyambut uluran tanganku tanpa berpikir. Tidak membiarkan tanganku terjulur di udara lebih dari sepersekian detik.

Dia terlalu ramah dan lembut untuk ukuran seorang ibu bagi anak seperti Lila yang dingin.

“Aku Hanna Winter. Ibunya Lila. Senang sekali bisa bertemu denganmu, Dev.”

Aku tidak salah mendengarnya. Dia memanggilku ‘Dev’ sama seperti putrinya. Apa sifat mereka pun sama?

Kurasa tidak. Aku meragukan hal itu. Kesan pertamaku terhadap wanita ini begitu kuat. Dia berbeda dengan Lila. Seperti sangat jauh berbeda.

Mungkinkah ayahnya Lila mewariskan semua sifatnya itu pada sang putri? Bahkan kurasa, rambut Lila pun berwarna sama seperti ayahnya. Hitam legam. Tebal dan indah.

Kepalaku sudah mengangguk sejak tadi, sepertinya. Karena kemudian, ibunya Lila pamit padaku dengan senyum selebar hampir sampai ke matanya, lalu mengucapkan kalimat yang manis dan hangat sebelum pergi.

“Kuharap, lain kali. Kita bertiga bisa minum teh bersama.”

Ibunya Lila sudah pergi, ketika wanita muda itu setengah berbisik berkata padaku.

“Abaikan ajakan ibuku. Dia mungkin hanya sekadar basa-basi.”

“Kau sungguh buruk, Lila. Mengatakan hal jahat untuk ibumu. Tidak mengherankan memang. Kau itu Lila. Wanita dingin yang kejam.”

Lila menghela napas dengan kasar. Dia melirik tajam padaku sekilas. “Jangan berkata seolah kau mengenalku dengan baik, Devon Woody. Lagipula, aku bukan mengatakan sesuatu yang buruk untuk ibuku. Semua orang yang bekerja di bidang ini yang terbiasa ramah terhadap pelanggan seperti ibuku, setidaknya, perlu basa-basi agar menyenangkan orang lain.”

Aku terdiam bukan karena ucapannya, tapi tidak lagi mendengar suaranya memanggil namaku dengan tiga huruf dari namaku itu. Dia bahkan menyebutkan nama lengkapku dengan baik. Seolah aku orang asing.

Bukankah itu bagus? Entahlah. Aku kebingungan. Baru semalam rasanya aku begitu membencinya. Begitu mudahkah aku kembali terbujuk pesona Lila?

Jangan, Dev. Lihat dan perhatikan. Dia ini wanita yang membuat hidup istrimu tidak lagi berwarna seperti biasanya.

Tapi, hei. Kenapa itu jadi salah Lila? Bukankah ide gila itu pertama kali datang dari Esme sendiri? Dia yang lebih dulu membuat Lila menjadi marah karena keinginan tidak masuk akalnya, bukan?

Bahkan sebelumnya, mereka tidak saling mengenal apalagi untuk bisa bersama-sama memperbincangkan sesuatu.

Lila bukanlah wanita yang terbiasa beramah tamah seperti kebanyakan wanita lain. Penyesalanku jadi tidak bermakna apa pun? Begitukah?

“Kenapa kau mempermainkan Esme jika kau tidak ingin melakukannya, Lila?” Menggeram di dekat telinganya, kupastikan Lila tidak tersentak. Sama sekali tidak gentar.

Entah. Itu mungkin pembuktian dari rasa tidak bersalahnya karena masalah ini.

“Kau sungguh menulikan telingamu? Tidak mendengar bagaimana dia berusaha membujukku untuk merayumu agar bersedia melakukannya? Tidak kah kau tahu hal itu membuatku muak hingga terjadilah hal yang membuatmu berpikir aku-lah yang bersalah di sini?”

Kilatan di mata Lila sedikit berbeda kali ini. Bukan rasa takut, marah atau yang lainnya. Aku hanya bisa mengartikannya seperti ada kesedihan yang tersimpan begitu dalam.

Lila mungkin juga terluka karena istriku. Bukan hanya Esme saja yang bisa terluka parah karena wanita ini.

Aku seharusnya melihat semua ini dalam dua sudut pandang. Esme dan Lila. Usia dewasaku hanya mendahulukan keegoisan yang menyakiti kedua wanita berharga ini.

“Maafkan aku, Lila. Tolong maafkan aku.”

Kuakui, permintaan maaf. Aku begitu jarang mengucapkannya. Bahkan bisa terhitung menggunakan satu tanganku. Dua atau tiga kali saja dalam hidupku? Permintaan maaf yang sungguh-sungguh dan tulus dari hatiku.

Aku merasa bersalah karena telah menyeret Lila dan Esme bersama dalam situasi yang seharusnya bisa kutangani dengan baik.

“Aku akan memaafkanmu dengan mudah, Dev. Tapi harus ada satu permintaanku yang wajib kau penuhi.”

Mataku mengerjap dengan hati yang bertanya-tanya. “Permintaan apa itu? Katakan padaku.”

𝐃𝐄𝐕𝐈𝐋: 𝐃𝐄𝐕&𝐋𝐈𝐋𝐀 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang