15. Si Rambut Jahe

1.7K 293 1
                                    

—Devon Woody

Hutan menjadi taman bagiku. Di mana pun dan bagaimana pun hutannya, bagiku sama saja. Kecuali untuk dua anak muda ini. Mereka mungkin sedikit asing dengan situasi seperti sekarang.

“Menyerah saja?”

Lila menoleh sambil mengernyit padaku. Di situasi dan kondisi apa pun, dia mungkin selalu terlihat dingin di mata orang lain, namun teramat seksi dalam pandanganku.

“Tidak.”

“Ini sudah sore. Kita bisa bermalam di dalam hutan jika kau memaksakan diri untuk terus berjalan.” Kuperhatikan bagaimana dia sedikit pucat dan berkeringat.

Walau tadi kami sudah sempat menyantap apa pun yang terlihat lezat dan terasa enak, tetap saja itu tidak cukup untuk mereka. Bukan bagiku.

“Gray, kita harus bermalam di sekitar sini.” Lila menatap si bocah sialan bernama Gray itu yang kini sedang berjongkok di sampingnya. Kelelahan.

Dia mencemaskan pemuda lamban ini, karena kami baru keluar dari rumah sakit. Harusnya aku. Namun tampaknya, dia enggan memberiku perhatian.

“Bangun, Gray.” Lila menarik lengan Gray yang tampak malas bergerak dari posisinya.

Karena aku tahu apa yang akan terjadi, aku berdiri sigap di depan Gray yang seketika terhuyung saat terbangun dari posisinya. Jangan sampai ini jadi kesempatannya untuk memeluk Lila.

“Kuatlah. Kau masih muda.”

“Okay. Terima kasih.” Dia mengucapkannya tanpa melihatku.

Lila berdiri dalam kegelisahan. Bagaimana pun itu, aku tahu meski raut wajahnya selalu sedatar itu. Apa yang dia khawatirkan?

“Kita akan bermalam di mana?” Lila melihat-lihat ke sekitar kami. Mungkin coba menemukan yang terdekat.

“Biar kutemukan melalui ponselku.” Gray merogoh saku jeans-nya.

Dan akhirnya kami menemukan tempatnya. Penginapan yang berada lima puluh meter dari tempat kami bertiga berdiri saat ini.

Aku dan Gray pasti tidak perlu merasa harus berada di satu kamar yang sama.

Kami semua masuk ke kamar masing-masing. Tapi, sebelum tengah malam, aku justru keluar kamar untuk menghilangkan perasaan tidak nyaman dalam diriku. Sudah dua kali aku menolak panggilan dari Esme.

Berada di kamar malah akan semakin membuatku merasa teramat bersalah padanya. Aku sedang tidak ingin bicara apa pun dengannya. Kecuali hanya mengiriminya sebaris pesan singkat.

[Aku sedang sibuk. Besok kukabari]

Motel tempat kami menginap tepat berada di depan jalanan. Ada beberapa pejalan kaki dan mobil yang sesekali lewat. Di seberang jalan, kulihat ada sebuah kolam tinggi dengan air mancur di atasnya. Kolam dengan bentuk lingkaran.

Ketika sampai, aku malah bertemu dengan Lila yang ternyata sedang berjalan seorang diri dari arah kananku menuju ke kolam air mancur.

“Kau dari mana?”

“Jalan-jalan.”

Dia berbohong. “Kau bisa mencarinya lagi besok.”

“Aku hanya jalan-jalan sebentar.”

“Lila, aku sulit untuk dibohongi.” Kuberitahu dia bukan hanya dengan satu tujuan.

“Aku tahu, tapi aku tetap berencana membohongimu, andai bisa.”

Aku tertawa saja tanpa berniat menyambung pembicaraan tentang hal itu lebih jauh lagi. Karena rasa ingin menciumi wajahnya semakin menjadi andai aku meneruskannya tanpa pikir panjang. “Kau begitu mencemaskannya?”

Kami sudah duduk di tepi kolam air mancur. Entah diizinkan atau tidak, aku tidak peduli itu dan tetap mengajak Lila agar duduk di sini bersamaku.

“Dia menyusahkan. Untuk berbagai kesempatan di mana aku melihatnya terlibat, dia mengabaikannya dan melimpahkannya padaku.” Lila mengeluh. Tidak. Dia sedang protes.

“Dia gadis muda yang aktif.” Aku bahkan tidak tahu siapa itu Runy, ah salah. Maksudku, mungkin Runi atau Ruby. Fokusku hanya pada Lila, bukan yang lain.

Lila tidak mengiyakan. Kupikir, dia akan tertawa. Tidak sama sekali. Hanya diam. Sepasang kakinya yang ramping mengayun antara kiri dan kanan, bergantian. Rambut hitamnya membuatku rindu ingin menyentuhnya lagi. Memberikan sensasi—

“Ruby mungkin menyebalkan. Terlalu menyusahkan. Meski begitu, aku selalu mengingat bahwa dia itu sepupuku. Anak dari kakaknya ibuku.”

Hmm, hubungan yang teramat dekat. “Kalian tidak akur?”

“Akur, seharusnya begitu. Kupikir, kami cukup akrab. Sehingga bisa membuatnya merasa bahwa aku ada untuk membantunya dalam banyak kesulitan akibat perbuatannya sendiri.” Masih selalu tanpa ekspresi, Lila hanya sesekali mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi.

“Punya saudara itu terkadang merepotkan. Bukannya begitu?”

Lila memberiku tatapan yang dalam, seakan melekat. “Kau menganggap paman Sean seperti itu?”

Benar. Terkadang, meski aku hanyalah saudara angkat, anak yang dipungut di jalanan waktu itu, tetap ada sisi tidak menyenangkan mengingat bahwa aku berutang nyawa pada ayahnya Ocean Barlow.

“Terkadang, ya. Aku menganggap kak Sean itu seseorang yang merepotkan. Tapi, terlepas dari semuanya, aku sangat merasa beruntung ditemukan oleh tuan Levine waktu itu.”

“Aku tidak pernah tahu bahwa paman Sean memiliki seorang adik angkat.”

Terkekeh geli, ada banyak fakta tentang kak Sean yang pasti tidak diketahuinya. “Kak Sean punya banyak rahasia, Lila. Bahkan kau tidak akan mengenali semua saudari kandung atau saudara tirinya.”

Lila membenarkan karena kepalanya mengangguk setuju. “Ya. Aku bahkan tidak pernah melihat kakek Levine, kecuali hari itu. Hari di mana aku datang untuk pertama kalinya ke rumah paman Sean.”

“Seingatku, katamu ayahmu berteman dengan paman Sean. Itu benar?”

“Ya ….” Ucapan Rain terhenti di udara sekitarnya.

Tatapannya yang tertuju ke arah lurus di depan kami, membuatku ikut melihat ke arah yang sama.

“Ada apa, Lila?”

Lila melompat turun dari duduknya. Tangan kurus mungil, tapi cekatan itu menarikku serta. “Aku yakin itu Ruby. Dia baru saja keluar dari kafe di ujung jalan sana.”

Benar. Sebuah kafe dengan penerangan yang remang. Mirip bar, tapi rasanya lebih pantas disebut tempat minum berbagai jenis minuman, termasuk kopi.

Tanganku sudah dicengkeram erat oleh Lila. Dia membawaku berjalan cepat, walau bagiku, langkahnya teramat kecil dan pendek-pendek. Dua langkah setengah. Itu langkahnya yang sama dengan satu langkah kakiku.

Pusat desa dan segala kegiatan utama para penduduk. Tempat ini hanya seperempatnya kota tempatku menetap. Bahkan lebih kecil dari itu. Dan sangat tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan ibukota.

Kami tiba di depan kafe yang tidak bisa kusebut kedai minum. Ini mirip—

“Dev, lihat itu.”

𝐃𝐄𝐕𝐈𝐋: 𝐃𝐄𝐕&𝐋𝐈𝐋𝐀 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang