36. Banyak Drama

1.4K 280 3
                                    

—Lila Winter

“Jika kau tidak tuli, kau pasti mendengar ucapanku tadi. Bahwa hanya ayah dan ibuku-lah yang boleh memberiku perintah.”

“Lila,” geram Dev. Jelas dia menilai diriku-lah yang bersalah.

“Aku tidak akan minta maaf karena bukan aku yang mengusulkan diri padanya, Devon Woody.” Kuhempas tangannya yang sama sekali tidak menyakitiku. Sejak tadi, dia terus mengusap-ngusap seakan ingin memberikan ketenangan padaku.

Lain di mulut, lain di hati. Keinginannya tersalurkan lewat caranya mengusap kulitku dengan lembut.

Entah karena ucapanku atau karena sikapku, Dev sudah bergerak cepat ke belakang untuk menggendong istrinya yang kini tergeletak di lantai.

Mendengus pelan, aku semakin merasakan bahwa nyonya Woody sebenarnya, hanyalah seorang istri rapuh yang tidak kuat melihat wanita lain ada di dekat suaminya.

Kalau begitu, kenapa kau punya ide gila untukku dan suamimu, Esme?

Ketika Dev pergi mengantarkan Esme entah ke mana, aku langsung pergi tanpa berniat mengintip sama sekali. Membayangkan bahwa aku bersedia dibujuk oleh istri dari Dev, benar-benar membuatku kesal.

Walau sejujurnya, aku senang bisa membuatnya tidak mampu menguasaiku seperti yang dia pikir aku akan bersedia menolongnya. Tidak akan pernah!

Di rumah, kutemukan Gray sedang bersama ibuku di dapur. Menyiapkan makan malam sambil bercerita seru.

“Sedang apa kau di sini?”

Gray menoleh dan tidak terkejut sama sekali. “Kata-katamu itu selalu menyakitkan, ya?”

Mengabaikannya, kulihat ibu tersenyum tanpa ragu-ragu. Memintaku naik ke kamar dan turun tepat waktu untuk makan malam bersama setelah mandi.

“Gray, bisa tolong ambilkan gelasnya?” Sekarang, ibu yang mengabaikanku.

“Okay, Bi.” Gray mengangguk dan dengan cepat mengambil gelas di lemari.

Cepat sekali si bocah menghafal tata letak barang di dapur ini? Apa aku melewatkan sesuatu?

Selesai mandi dan berpakaian, kusempatkan diri untuk memeriksa ponselku, namun kudengar pintu kamarku diketuk.

“Lila, ini aku.”

Ray. Aneh mendengar suaranya ada di depan pintu kamarku.

Membuka pintu, kutemukan dia dengan ransel di pundak dan dua buku di tangannya. Dia baru pulang kuliah, sepertinya.

“Ada apa?”

“Kenapa Gray ada di sini? Kau mengajaknya?”

Aku menggeleng cepat. Dia menuduhku untuk hal apa? “Katakan tujuanmu, Ray.”

“Dia tidak datang ke kampus selama beberapa hari.”

“Lalu? Apa urusannya denganku?”

“Kupikir, karena akhir-akhir ini dia bergaul denganmu dia jadi lalai dan senang ke sini hanya untuk melihatmu.”

Apa dia terlambat menyadari bahwa sejak awal Gray memang sudah seperti itu?

“Tanyakan itu padanya. Jangan padaku.” Bersiap menutup pintu, adikku yang keras kepala ini menahannya menggunakan kakinya yang panjang.

“Aku tidak percaya pada ucapan Gray yang mengaku bahwa dia menyukaimu.”

“Jadi? Kau berpikir, aku yang menggoda dan merayunya, begitu?”

“Benar atau tidak, itu mungkin saja terjadi.”

Hah, bocah ini membuat kekesalanku yang belum sepenuhnya hilang, kembali bangkit. Dengan kuat, aku menekan ujung jariku ke dadanya yang bidang.

“Dengar, bocah sok tahu. Jangan bersikap seolah-olah kau tahu semua yang kulakukan. Meski kau adikku, tapi kau sungguh tidak mengenalku dengan baik.”

“Kalian sedang apa?”

Si bocah biang masalah muncul. Dia mendekat dengan langkah santai, tapi sungguh mengesalkan melihatnya seperti itu.

“Jangan membuat Lila kesal, Ray. Suasana hatinya sedang tidak baik.” Gray yang benar dengan dugaannya, menepuk pundak adikku dan mengajaknya pergi dari hadapanku.

Dia sungguh hanya menduganya atau benar-benar tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku?

Di meja makan, hanya Gray dan ibu yang bicara. Sedangkan ayah cukup jadi pendengar dan penyimak yang baik. Cuma sesekali terlontar satu atau dua pertanyaan dari ayahku.

Setelah lima hari lalu aku mengirimkan nama orang tua Gray pada ibu, tidak kutemukan perubahan sikap ibu padanya. Semua masih sama seperti biasanya.

Kemungkinan, dua nama itu asing untuk ibuku.

“Lila, apa kau ingin belajar akting bersama-sama dengan Gray?”

Aku mendongak dan kuyakin, suara sendok adikku berhenti beradu dengan piring saat pertanyaan ibuku mengudara.

“Tidak, Bu.” Jawaban yang tepat dan cepat. Aku memang tidak tertarik dengan dunia seni. Apalagi akting. Kuyakin, bakatku tidak di situ.

“Sebenarnya, dia memang tidak tertarik, Bi. Aku hanya merasakan bahwa dia memiliki sedikit bakat di bidang itu.”

“Jangan bicara omong kosong hanya karena kau melihatku berakting di musik video-nya Ruby. Aku sama sekali tidak berbakat untuk itu.”

Semua hening dan menatapku yang bicara kejam tanpa ekspresi pada Gray. Tidak ada dari mereka bertiga yang berniat membelaku, terutama Ray.

“Okay. Dimengerti, Nona Lila.” Sambil tertawa, Gray mendinginkan tatapan ayah dan kekecewaan ibu padaku. Entah kenapa mereka berdua bersikap seperti itu.

Setelah makan malam selesai, aku tidak ingin heran saat Gray dibawa oleh ibu dan ayah ke ruang kerja ayahku.

“Apa-apaan itu?” Ray bertanya di dekatku. Dia juga merasakan hal yang sama. Pastinya begitu.

“Aku tidak tahu, Ray. Kau terus saja bertanya padaku, padahal dia itu temanmu.”

“Dibandingkan aku, Ruby sedikit lebih banyak tahu tentang Gray.”

“Sejak kapan mereka berteman?”

“Entahlah. Mungkin sejak menjadi mahasiswa. Mereka seangkatan dan satu jurusan. Aku hanya tahu sebatas itu.”

“Kau tidak perlu menjadi seseorang yang terlalu mau tahu. Tidak semua orang bersedia berbagi denganmu.”

Ray mendengus kesal sambil menunjuk dirinya sendiri. “Memangnya kenapa denganku? Apa yang salah sampai kau menudingku seperti itu?”

“Karena kau Ray Winter yang memiliki segalanya. Tidak ada penduduk kota ini yang tidak tahu akan hal itu, bukan?”

Ray terdiam sambil berkedip. Semestinya, dia tertampar akan kenyataan sejak dulu.

“Aku … aku tidak menganggap bahwa apa yang kumiliki, memberi pengaruh pada orang yang ada di dekatku.” Ray bicara perlahan.

“Tentu tidak. Karena temanmu hanya ada Ruby dan Marion.” Aku nyaris tertawa. Dengan santai menyebut nama keluarga Ruby seolah tanpa beban.

“Aku juga punya teman lain selain dia.” Ray menghardikku. Namun segera terdiam saat aku melotot padanya.

Ibu, ayah dan Gray terlihat keluar susul menyusul dari ruang kerja ayah. Aku dan Ray segera berpencar dari tempat kami mengintai mereka, sampai suara ayah menghentikan kami.

“Anak-anak. Ayah dan Ibu ingin bicara. Ayo, berkumpul di ruang keluarga.”

𝐃𝐄𝐕𝐈𝐋: 𝐃𝐄𝐕&𝐋𝐈𝐋𝐀 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang