Kalah Sebelum Bertempur

4.3K 373 14
                                    

"Assalamu'alaikum," salam terucap dari bibir Arga saat memasuki rumah mungil itu.

"Wa'alaikumussalam. Eh, cintanya Mama sudah pulang. Tumben cepat. Ini jam berapa? Kamu belum makan malam kan?" sambut seorang wanita paruh baya seusia Johan namun dengan jumlah rambut putih yang lebih banyak.

"Belum kok, cintanya Arga. Laper, nih. Masih jam 7 kok. Mama masak?" tanyanya sembari merangkul bahu sang Mama mesra. Tangannya menggiring wanita tua itu berjalan beriringan menuju ruang makan.

"Mama tadi masak sendiri. Mbak Hayu nggak datang hari ini." Ucapannya terdengar seiring dengan penglihatan Arga yang melihat kondisi dapur yang porak-poranda dan hidangan di meja yang kurang menggugah selera. Lalu matanya turun melihat ke arah jari sang Mama. Kembali terlihat luka bekas tersayat pisau di jari telunjuk kirinya. Mungkin ini luka kelima minggu ini. Arga menghela napas.

"Ma, Arga bilang apa? Nggak usah masak-masak kalau nggak ada Mbak Hayu. Itu jarinya luka lagi kan?"

Tanpa sadar air mata menetes dari sudut mata wanita itu.

"Tapi Mama pingin masakin kamu. Tapi akhirnya malah jadi merepotkan. Mama pingin bisa ngurusin kamu. Tapi selalu saja ... maaf ya sayang, Mama selalu jadi beban buat kamu." Arga langsung memeluk sang Mama yang mulai sendu.

"Bukan begitu, Ma. Arga mengerti Mama sangat sayang sama Arga. Arga juga sayang Mama. Tapi Mama juga harus ingat kondisi kesehatan. Arga nggak mau Mama kenapa-kenapa."

Sang Mama mengangkat kepalanya untuk menatap putra angkat tampannya lekat. Namun sayangnya wajah tampan itu benar-benar menjadi gambar buram di matanya. Kedua tangannya terangkat membelai kedua pipi Arga. "Mama kangen wajah kamu. Mama kangen melihat dunia."

"Besok kita cek ke dokter Emery lagi ya. Siapa tahu dapat kabar bagus," ujar Arga menenangkan.

"Enggak! Mama nggak mau! Dokter itu suka bohong. Dulu bilangnya Mama bisa sembuh. Tapi apa?!"

Arga kembali menghela napas untuk kesekian kalinya. "Ma, itu kan dua tahun yang lalu. Siapa tahu sekarang ada perubahan."

"Mama nggak suka di-PHP-in! Lagian ... Mama sudah capek harus treatment ini itu. Mama lelah, Sayang."

"Tapi, Ma —"

"Besok jadwal Mama cuci darah, kan? Mama sama Mbak —"

"Assalamu'alaikum." Terdengar suara perempuan mengucapkan salam disertai ketukan di pintu rumah.

"Siapa, Sayang? Tumben ada tamu." Sang Mama menggamit erat lengan Arga disertai rasa cemas. Sebelah tangannya meremas ujung jilbab panjangnya.

"Nggak tau, Ma. Mbak Hayu mungkin?"

"Bukan, itu bukan suara Mbak Hayu. Bukan suara Saki juga. Siapa, ya?" Sang Mama merasa asing dengan suara itu. Setelah penglihatannya mulai memburam, sang Mama mulai membiasakan diri mengenali seseorang dari suaranya. Kali ini yang dikhawatirkannya, jangan-jangan ini suara sang penagih utang yang sudah dua bulan ini absen mengetuk pintu rumahnya. Sang Mama tidak mengingat tanggal jatuh tempo pastinya.

"Assalamu'alaikum." Sekali lagi wanita itu bersuara diiringi ketukan pintu untuk kedua kalinya.

"Sebentar, Ma." Arga hendak melepas genggaman sang Mama, namun pegangan wanita tua itu semakin mengerat. Akhirnya Arga membawanya serta berjalan empat meter ke depan untuk membuka pintu.

"Wa'alaikumussalam."

Kedua bola mata Arga membelalak kaget saat melihat sosok yang berada di balik pintu.

"Emm ... maaf mengganggu malam-malam."

"Amara?" ucap Arga lirih.

"Siapa, Sayang?" Sang Mama mengerjapkan pandangan buramnya berkali-kali untuk menemukan titik fokus wajah wanita didepannya. Namun gagal.

LOVABILITY (Judul Lama: ADAMANTINE) (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang