Sebuah Rasa

4.3K 373 3
                                    

Lelah dan pegal menggelayuti tubuhnya malam ini. Tumben sekali hari ini banyak pekerjaan yang harus diselesaikan olehnya. Sehingga beberapa urusan pribadinya pun harus ikut tertunda untuk diselesaikan. Sebenarnya bisa saja ia membatalkan kesepakatan kerja dengan wanita itu saat ini juga. Toh, ia tidak lagi membutuhkan uang tambahan untuk biaya berobat sang Mama yang telah kembali ke Rahmatullah.
Tapi Arga tidak bisa. Ia sudah berjanji. Ini bukan lagi menyangkut urusan uang.

Tubuhnya dihempaskan ke atas kasur yang sudah dua hari ini tidak dihuninya. Menghayati nikmatnya punggung yang lelah menimpa kasur kapuk kesayangan.

Arga menatap kosong langit-langit kamarnya. Pikirannya kembali mengingat kejadian lima hari yang lalu. Saat wanita paruh baya dengan paras cantik itu bertandang ke rumahnya, sehari setelah Mama Jihan meninggal.

"Kamu masih ingat saya, kan?" tanya wanita itu setelah dipersilahkan duduk olehnya.

"Tentu saja. Ibu Retha, ibunda dari Amara," jawabnya ramah.

"Bagus kalau begitu. Saya tidak perlu repot-repot mengenalkan diri saya."

Arga mengangguk sekilas lalu melanjutkan, "Oh ya, Ibu mau minum apa? Saya siapkan dulu."

Retha buru-buru menolak dengan mengangkat tangan kanannya. "Tidak usah, Nak Arga. Terima kasih. Sebaiknya saya langsung saja menyampaikan tujuan saya datang kemari."

Arga kembali mengangguk tanpa bantahan.

"Pertama-tama, saya ingin mengucapkan turut berduka cita atas kepergian Mama Jihan. Saya mendo'akan yang terbaik untuk almarhumah."

"Terima kasih, Bu Retha. Tapi sepertinya, bukan hanya itu yang ingin Ibu sampaikan."

"Benar sekali. Yang kedua, ... Nak Arga pasti tahu bagaimana setiap orangtua sangat mencintai anak-anaknya. Termasuk saya. Dan setiap orangtua sangat tidak ingin melihat anaknya kecewa atau ... tersakiti."

Arga mulai menebak-nebak dalam hati kemana pembicaraan ini akan bermuara.

"Dan saya ... saya sangat tahu bagaimana perasaan putri sulung saya terhadap kamu."

"Maksud Ibu?"

Retha bergeming sejenak untuk kembali menyusun kalimat yang tepat di kepalanya. "Anak saya, Amara, mencintai kamu setulus hatinya. Sayangnya ... dia sudah terlanjur patah hati saat mengetahui kamu akan segera menikah dengan wanita lain. Dan ... saya tidak suka melihat putri saya jatuh hebat seperti saat ini."

"Tapi saya —"

"Sebentar, Nak Arga. Tolong biarkan saya menyelesaikan."

Dengan berat hati, Arga mengangguk menuruti.

"Saya tidak akan memaksa kamu untuk membalas perasaan Amara, atau membatalkan pernikahan dengan wanita lain itu. Karena saya tahu itu hak kamu. Dan karena saya tahu, bagaimana rasanya jatuh cinta dan patah hati. Jadi, saya mohon sama Nak Arga ... tolong, jauhi anak saya. Jangan pernah temui Amara lagi. Jika pun kalian bertemu secara tidak sengaja, abaikan saja dia. Dan satu lagi, tolong tinggalkan kesepakatan kerja yang sudah kalian buat. Perusahaan saya akan tetap membayar jasa kamu sesuai harga yang tertera pada kontrak."

Arga diam dalam gelisah.

"Maaf, saya tidak bermaksud lancang atau menyinggung perasaan Nak Arga. Saya hanyalah seorang ibu yang ingin menyelamatkan hati anaknya. Yang ingin anaknya bahagia dunia akhirat. Nak Arga bisa paham, kan?"

Tentu saja Arga paham. Ibu Retha hanyalah seorang ibu yang sama dengan para ibu lainnya. Sama seperti Mama Jihan. Yang menginginkan kebahagiaan untuk anaknya. Tapi siapa yang tahu apa yang bisa membuat sang anak bahagia? Bahkan terkadang orangtua tidak memahami apa yang sebenarnya diinginkan atau dibutuhkan oleh sang anak.

LOVABILITY (Judul Lama: ADAMANTINE) (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang