Sang Wali dan Masa Lalu

4.4K 353 9
                                    


Langit siang ini semakin mendung. Semendung suasana hati yang sedang mendongak menatapnya ke atas. Mood-nya yang tadi pagi setinggi semangat kemerdekaan pun runtuh. Seketika terhempas sapuan gelombang tsunami. Begitu kira-kira deskripsi lebay ala Amara.

Akankah ia batal menikah hari ini? Tidak ada yang tahu. Sudah dua jam ia menunggu dalam gelisah akan kedatangan sang mama yang berjanji akan mencari seseorang yang bisa menjadi wali nikahnya.

Yang lebih menyebalkannya lagi, bisa-bisanya mamanya gerak cepat mengurus undangan, kostum, gedung, dan tetek-bengek pernikahan lainnya, tapi tidak pernah memikirkan siapa yang akan menjadi walinya?

Yang benar saja. Apa mamanya lupa isi rukun dan syarat sah nikah? Bisa-bisanya tidak terpikirkan soal wali nikah.

Amara melirik pada Arga yang sedang duduk berdampingan dengan ayahnya. Tak enak hati membiarkan sang calon mertua duduk kepanasan menunggu lama. Sudah lima kali Amara memohon maaf pada Hardi. Masa iya dia harus kembali menyampaikan maaf untuk yang ke-enam kalinya? Mau dapat payung cantik?

"Ra, coba lo hubungi lagi Tante Retha," perintah seorang pria yang juga berdiri gelisah di belakangnya.

"Nggak diangkat, Adin. HP Pak Ganjar juga nggak aktif," jawab Amara sebal pada pria bernama Adin itu.

Adin adalah orang yang menggantikan posisi Amara di perusahaan, sekaligus sepupunya. Anak dari Pakde Risto, kakak Retha yang sudah lama meninggal.

Tadi pagi setelah menghubungi mamanya, Amara tak buang waktu lama untuk segera menghubungi Adin. Menurutnya sepupunya itu orang yang tepat untuk bertugas menjadi saksi dari pihaknya.

Sedangkan dari pihak Arga, Razi yang diminta untuk menjadi saksi. Pria itu tampaknya sedang asyik mengamati ruangan yang digunakan oleh para penghulu untuk menikahkan beberapa belas pasangan calon pengantin yang sudah rela mengantri sejak pagi.

"Lo tau kira-kira siapa yang diminta Tante Retha buat jadi wali?"

Amara mengangkat malas kedua bahunya sembari menghempas napas. Karena memang benar tidak tahu siapa. Di telepon, mamanya juga tidak memberitahu.

"Sori ya, Adin. Jadi nunggu lama, deh. Padahal lo harus segera ke rumah sakit. Kasian Lula baru lahiran, udah lo tinggalin aja." Amara memelas dengan kedua tangan menangkup.

"Nggak pa-pa, Ra. Santai aja. Ada mertua gue juga di sana. Lula juga ngerti."

Sepupunya ini memang orang paling santai sedunia. Hidupnya lempeng-lempeng saja kalau menurut Amara. Tidak ada masalah berat yang terlalu berarti yang menjadi beban hidupnya. Dengan kata lain, hidupnya jauh dari segala jenis genre drama. Tidak seperti Amara. Kebanyakan jalan cerita hidupnya tidak jauh berbeda dengan naskah sinetron yang tayang beratus-ratus episode.

"So? Gimana selama ini kerja dengan Arga?" Amara pikir akan lebih baik mengalihkan stres dari pikirannya dengan sedikit perbincangan.

"Bagus. Rancangannya juga oke," jawab Adin santai lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku di sisi-sisi celana panjangnya.

"No complaints, kan?"

"Nope."

"Syukur, deh. Kapan mulai bangun?"

"Lho, kok nanya gue? Itu sih tergantung lo." Adin mengangkat sebelah alis matanya.

"Kok tergantung gue? Maksud lo apaan?" tanya Amara mengernyit dahi bingung.

"Ya tergantung berapa lama lo mau honeymoon."

"Adiiiiiinnn!" Dengan cekatan kedua jarinya sudah mencubit kesal lengan sepupunya.

LOVABILITY (Judul Lama: ADAMANTINE) (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang