memikirkannya 2

215 29 8
                                    

Happy reading...

Awan melempar bola asal, setelah usahanya memasukkan bola ke dalam ring kembali gagal untuk yang keempat kalinya. Selain merasa risih dengan keberadaan cewek-cewek di sisi lapangan sana, yang sepenuhnya memenuhi otak Awan adalah gadis buta itu.

Gadis itu masih setia membayanginya. Mengisi pikiran Awan yang kosong dan seakan bergerak bebas didalam sana untuk menghantui Awan.

Sorakan kecewa dari cewek-cewek yang ada di tepi lapangan membuat Awan tersadar dan segera pergi dari lapangan, dan langsung diikuti oleh kedua temanya dari belakang.

"Kenapa sih Lo?" Tanya Alvian mencoba mencari tau tentang apa yang sedang di pikirkan cowok itu.

Namun Awan memilih bungkam, mempercepat langkahnya dan terus berjalan dengan di ikuti kedua temanya yang sedang bergeming membicarakannya.

Mengabaikan tatapan dari cewek-cewek yang menatapnya, Awan segera duduk di bangku paling ujung setelah kakinya memasuki area kantin yang sialnya begitu ramai.

Cowok itu mendengus kesal, beberapa kali memalingkan muka ketika bertatapan dengan cewek yang mencoba merayunya.

Awan tau Awan tampan.

"Lo kenapa sih bro?" Tanya Bara setelah mendudukkan bokongnya pada kursi di depan Awan.

"Gue keinget terus sama cewek buta di jalan tadi."

"Karma tuh." Seru Alvian sambil mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya.

"Karma?"

"Iya karma, jatuh cinta. Atau karena lo habis ngapa-ngapain cewek tadi?" Opsi Alvian.

"Gue gak ngapa-ngapain cewek buta tadi!" Sahut tak terima Awan.

"Lo tadi narik dia paksa Wan, Lo kira kita gak liat apa?"

"Biasa aja perasaan."

"Lo  biasa, kalau dia? Lo gak tau kan."

"Agree. Lo enggak punya hati, Wan." Alvian menimpali.

Cukup brengsek untuk takaran orang seperti Awan yang hanya memperdulikan kepentingan pribadinya dan menepis siapapun yang menghalangi jalannya. Termasuk orang buta sekalipun.

Cowok itu jelas menyadarinya, perlakuan kasarnya pada seorang gadis buta tadi seharunya tak pantas ia lakukan. Namun persetan, dia sudah berkobar emosi.

Namun perasaan yang datang tiba-tiba padanya membuatnya semakin memaki dirinya sendiri, membenarkan perkataan Alvian bahwa mungkin dia mendapat karma setelah apa yang dia lakukan pada gadis cacat itu.

Gebrakan meja yang dilakukan Alvian, membuat kedua manusia yang duduk di depannya itu mengangkat kepala melihatnya. Tak hanya mereka, tapi seisi kantin memperhatikannya, efek dari suara yang dia timbulkan.

"Kenapa sih lo?!" Tanya Bara sedikit berteriak, merasa jengkel pada temannya yang menganggu ketenangannya dengan ponsel yang memperlihatkan kartun Marsya and the bear.

"Arneta nantangin gue, babi. Gue kalah nge game sama dia."

"Cowok kok lemah," Ledek Bara.

"Enggak lemah, emang Arneta aja yang lagi beruntung."

"Wan ...." rengek Alvian, memandang Awan dengan memelas sambil menempelkan dagunya di sisi meja.

"Apa?" Tanya Awan dengan muka datarnya.

"Lo nyanyi ya Wan di acara diesnatalis sekolah?."

"Ogah!"

Alvian mengangkat dagunya, mengerucutkan bibirnya ke depan sambil bergumam tak jelas dengan bibir yang monyong. Kembali menatap Awan dengan terus meramalkan doa agar Awan mau, membujuknya hingga merayu cowok itu dengan berbagi cara.

Usahanya tak berhenti di kantin, Alvian cukup gencar merengek pada Awan setelah mereka duduk di kursi kelas paling belakang. Terlihat jelas wajah tak suka dari Awan ketika menatap sahabatnya masih setia memelas padanya.

Bara yang duduk bersebelahan dengan Awan dibuat geli bukan main, cowok itu sama sekali tidak kasihan pada Alvian yang sampai menangis tak jelas demi membujuk seorang Awan agar mau menyanyi di acara diesnatalis sekolahnya nanti.

"Ayolah Wan."

"Gue gak bisa Yan, lo tampil aja sendiri juga bisa kan."

"Tanpa lo itu gue gak bisa apa-apa Wan, gue cuma seonggok upil dimata semua orang, tau sendiri kan diantara kita yang paling populer itu lo. Kalau lo ikut pasti semua pada suka sama lo. Cuma nyanyi aja kok, Wan."

"Dia cuma cewek bro ngapain lo tanggepin sih," Bara mencoba menengahi. Memasukkan kembali ponsel ke dalam saku seragamnya lalu menatap ke arah Alvian.

"Justru itu Bar, dia cewek dan gue cowok. Gue gak boleh kalah lah sama yang namanya cewek."

"Tapi lo udah kalah."

"Ya Allah kenapa sih gue harus punya sohib yang kayak wedus?" Ujar Alvian sambil mendongak menatap langit-langit kelasnya.

Awan tetap tidak merespon. Namun getaran dari saku celananya membuatnya mengalihkan perhatian sepenuhnya pada ponselnya.

"Apa?" Tanyanya setelah menggeser icon berwarna hijau ke atas.

"Bisa kan?"

"Gue pikir-pikir dulu." Jawabnya santai seolah yang bertanya padanya masih mau menunggu lama lagi setelah dari tadi pagi membutuhkan kepastiannya.

"Please Wan, udah dua Minggu lo gak ngisi disini. Enggak ada lo jadi sepi."

Memutus sambungan begitu saja, Awan langsung memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Mungkin cowok itu merasa sama risihnya dengan yang dilakukan laki-laki tadi di telepon, sama-sama memaksakan kehendaknya pada Awan persis seperti temannya yang kini sedang menatapnya penuh harap.

"Satu lagu aja."

Mata Alvian langsung berbinar, mulutnya seakan kelu untuk tak terbuka. Nafasnya seperti berhenti berdetak detik itu juga. Namun tak berhenti di situ, seakan ucapan Awan masih kurang Alvian kembali memasang wajah memelas dengan kedua telapak tangan yang saling dia tautkan.

"Dua lagu ya Wan?."

Na.

BlindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang