memutar kembali memori

104 18 3
                                    

Malam pun tiba, bergerak gelisah seakan Atala sedang berada dalam mimpi buruk yang membawa alunan langkahnya menjadi tergesa. Padahal dia belum juga menyelami alam tidur.

Bekas tamparan Bagas di pipinya masih terasa nyeri, begitu juga hatinya yang semakin nyeri ketika Bagas menit lalu menemuinya dan menyuruhnya tidur seakan sore tadi tidak terjadi apa-apa antara mereka.

Selalu begitu, selalu Atala merasakan nyeri yang makin hari makin menjadi rasanya. Dimana luka itu hanya Bagas yang bisa membuatnya semakin tidak terkendali lagi parahnya.

Raganya telah lama rapuh, kini hatinya pun ikut menangis pilu. Dan semuanya tidak pernah tahu betapa Atala berusaha menyembunyikannya pada segumpal senyum palsu yang ia paksa untuk bersemu malu.

Kegelapan sudah berakhir menemaninya, apakah kesedihan juga akan mendampingi hidupnya? Kenapa seakan scenario Tuhan begitu buruk untuk Atala yang masih ingin merasakan kebahagiaan saat ia mulai beranjak remaja?.

Langkah kaki membuatnya menajamkan telinga, setidaknya ia masih bersyukur karena Tuhan masih memberikannya telinga yang normal di tengah mata yang tak lagi dapat melihat.

"Non Atala?" Ujar seseorang yang di yakini Atala sedang berdiri di ambang pintu yang telah di buka.

"Iya bi?" Jawab Atala.

Atala beranjak duduk, sedangkan bi Inem tersenyum simpul lalu melangkah masuk.

Sudah hampir lima tahun menjadi pembantu rumah tangga di keluarga Atala, dirinya hingga kebablasan menyayangi Atala seperti putrinya sendiri.

"Non, ada telepon dari mbak Neta."

"Malam-malam begini bi?" Tanya Atala dengan kening mengernyit heran.

Atala bingung, tumben sekali Neta menelponnya malam-malam begini.

Atala menunjukkan telapak tangan kanannya ke arah bi Inem, dengan segera bi Inem juga memberikan ponselnya pada Atala. Hingga perkataan Atala membuatnya kembali tersenyum simpul. "Sudah berapa kali sih bi Atala bilang, kalau ke kamar Atala, bibi gak usah sungkan. Kayak gini nih, bibi boleh kok duduk di sini," Ujar Atala. Sambil menepuk kasur kosong di depannya.

Bi Inem kembali tersenyum, dia anggukan kepalanya padahal ia pun juga sadar bahwa Atala tidak akan pernah mengetahui responnya.

"Hallo, ada apa Net?"

"Maaf banget ya Ta, gue harus ngganggu waktu istirahat lo, tapi ini penting banget Ta," Ujar Neta. Tergesa.

"Iya, emang ada apa sih?"

"Gue mau minta tolong sama lo."

"Minta tolong? Emang apa yang bisa dibantu sama orang buta kayak aku?"

"Ah, Atala. Jangan gitu."

Atala mendengus geli.

"Gue mau lo ikut nyanyi gue besok di acara sekolah gue."

"Nyanyi? Enggak ah ...."

"Ya Allah, gue mohon Ta sekali ini aja."

"Iya aku mau nolong kamu, tapi bukan buat yang satu ini, aku gak bisa nyanyi asal kamu tau."

"Merendah untuk meroket? Gue masih inget gimana lihainya lo pas nyanyi waktu SMP, Ta."

Memorinya kembali berputar, kenangan saat SMP itu masih terekam nyata di kepalanya. Semua begitu indah, terukir banyak bahagia disana, musik, teman, guru, menjadi satu dalam benaknya.

Sebelum kemudian semua hancur nyaris tak bertuan, kala kecelakaan yang menimpanya membuat korneo matanya rusak dan membuatnya buta.

Hingga ibu nya pun tak dapat terselematkan atas kecelakaan tiga tahun lalu. Sesak napasnya kembali tidak beraturan, bayangan ibunya kembali menelusup hingga ke angan-angan.

Dimana motor yang di kendarainya dengan ibunya bertabrakan dengan kijang putih milik orang kaya yang sayangnya tak punya hati dan lepas tanggung jawab dari apa yang telah di perbuat.

Kala itu, mobil putih melaju begitu cepat dari arah selatan, entah sedang mengejar waktu, atau untuk menjenguk keluarga yang mungkin saja sedang berada di rumah sakit, mobil itu tanpa memperdulikan orang lain melaju di atas rata-rata.

Sedangkan saat itu motor yang di kendarai Atala melaju lurus dari arah utara, ibunya tertawa ringan, pun Atala yang sedang asik bercerita tentang sekolahnya di tengah jalanan yang lumayan sepi. Hingga akhirnya insiden itu pun terjadi.

Dirasakannya pangkal hidungnya memanas, pelupuk matanya tergenang air bening yang setia berjamu disana. Hingga akhirnya tetesannya mulai membasahi pipinya.

"Non, enggak apa-apa?" Tanya bi Inem khawatir.

Atala menggeleng, ia usap kembali bekas tetesan bening di pipinya sebelum kemudian lanjut berbicara dengan lawan bicaranya. "Tapi, Aku buta."

Terdengar dengusan kecil dari seberang. "Karena itu lo gak percaya diri?"

"Besok gue gak bisa main ke rumah Lo pas siang, soalnya di sekolah mau ada gladi bersih sepulang sekolah, jadi malamnya gue bakal langsung jemput lo ya."

"Secepat itu? Ini mendadak banget, Neta."

"Iya, Ta."

"Aku gak mau Net, aku malu."

"Lo tenang aja Atala, nanti banyak kok yang bakalan nyumbang lagu, anak-anak luar sekolah juga pada ikutan ngerayain ulang tahun sekolah gue."

"Kok kamu jemput aku malem?"

"Acaranya di Adain malam, t-"

"Malam?" Tanya Atala syok. Kenapa acara ulang tahun sekolah harus di adakan malam hari? Tanyanya dalam hati.

"Aku gak yakin ayah sama mama bakal ngijinin aku keluar besok malam."

"Tenang aja soal ayah Lo gue bisa atur, tapi kalau buat emak tiri Lo kayaknya butuh tenaga ekstra."

"Tapi pokoknya lo gausah mikirin itu, serahin semua sama gue. Tugas lo sekarang tidur dan mimpi yang indah, gue tutup ya, bilangin makasih sama bi Inem."


Na.

BlindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang