Awan mengambil gitarnya, berniat memainkannya saat musik DJ sudah berhenti. Namun ia urungkan kembali niatnya ketika sang pembawa acara telah menaiki panggung.
Awan menatap malas ke depan sana, melihat sang pembawa acara yang menurutnya bertele-tele dalam membacakan serangkaian kegiatan acara selanjutnya, apalagi ketika pembawa acara juga membacakan pantun yang di akhiri pemberian bunga pada pemain DJ tadi, membuatnya benar-benar ingin segera pergi saat ini.
"Sosweet banget sih, kayaknya lo harus berguru sama orang itu deh, Wan." Angel bersuara.
Awan yang jengah, memutuskan untuk berdiri.
"Mau kemana lo?" Tanya Alvian
"Kamar mandi."
"Gue ikut," Kata Angel. Mengikuti Awan yang sudah berdiri.
Awan mengangkat satu alisnya sambil memandang Angel. "Ikut? Lo mau berniat liat punya gue?" Tanyanya membuat Bara dan Alvian tertawa mendengarnya.
Tanpa berpamitan Awan langkahkan kakinya kala sang pembawa acara mulai memanggil pengisi acara pertama yang akan menjadi pembukaan pentas seni.
Awan tak menghiraukannya, ia tetap melangkahkan kakinya meski kedua gadis yang menjadi pengisi acara pertama telah menaiki panggung.
Malam sunyi ku impikan mu ....
Ku lukiskan kita bersama ....
Namun selalu aku bertanya ....
Adakah aku di mimpimu? ....Awan menghentikan langkahnya, jantungnya berdebar hebat kala ia mendengar lagu yang ia sukai tengah di nyanyikan seseorang di sana, membuatnya terpaksa membalikkan badannya untuk mencari tahu siapa sumber suara yang berhasil membuat hati Awan berdegup sangat kencang.
Bayangan gadis itu muncul, ketika matanya tengah tertuju ke atas panggung. Mata coklat beserta tongkat yang masih sangat ia kenali berdiri diatas panggung sana.
Awan mengusap matanya kasar hingga memerah, ia ingin terbangun jika ini memang hanya mimpi, dan jika ini bukan mimpi tolong tampar Awan sekali saja untuk menyadarkannya.
Telah ku nyanyikan alunan-alunan sendu ku ....
Telah ku bisikkan cerita-cerita gelapku ....
Telah ku abaikan mimpi-mimpi dan ambisi ku ....
Tapi mengapa .... ....
Ku takkan bisa ... sentuh hatimu ....Keringat dingin membasahi pelipis Awan, deru napasnya mulai tak berirama. Haruskah ia meminta maaf pada gadis itu saat ini?
Haruskah ia mengatakan bahwa ia telah menyukai gadis itu setelah semalam memimpikannya?
Haruskah ia benar-benar melakukan semua itu saat ini?
Tapi mengapa ....
Ku takkan bisa ....
Sentuh hatimu ....Bait lirik terakhir yang dinyanyikan gadis itu membuatnya tersadar dari lamunannya. Ia berlari. Napasnya kian memburu saat ia mencoba mengejar gadis itu yang sudah menuruni panggung.
Ini mungkin terlihat lucu bahkan konyol. Tapi yang ia butuh saat ini gadis itu, senyum itu, juga mata itu yang mampu membuat Awan tenang.
"Sorry," kata Awan. Ketika tubuhnya menabrak segerombol anak laki-laki yang berjalan berlawanan dengannya.
Entah sudah berapa lama ia berlari, kali ini lapangan sepak bola yang kerap kali ia gunakan untuk bermain, terasa begitu jauh hingga ia harus kehilangan jejak gadis itu.
Matanya meneliti tiap orang yang melewatinya, matanya menelusuri tiap bazar siswa yang berada di samping kanan kirinya.
Namun tetap saja. Laki-laki itu kesulitan jika harus menemukan gadis dengan dress selutut berwarna merah maroon, karena disini banyak cewek yang mengenakan baju yang berwarna sama.
Ia mengusap wajahnya kasar, menendang udara kasar ketika ia tak berhasil menemukan gadis itu. Awan menyerah. Dia berbalik namun tertahan saat ia menemukan gadis itu kembali.
Gadis itu berjalan kearahnya bersama Neta. Matanya terlihat begitu indah dari depan, bahkan senyumnya mampu membuat hati Awan kembali berdesir.
Semakin dekat, semakin tak terkendali cara kerja jantung Awan, sepertinya sepulang dari sini ia perlu mampir ke dokter untuk mengecek keadaan jantungnya.
"Kenapa lo liat liat?!" Tanya sinis Neta pada Awan.
"Gue mau ngomong sama dia."
☁️
☁️
☁️
Atala menghembuskan napas lega ketika ia sukses membawakan lagu favoritnya malam ini. Tepuk tangan yang ia dengarkan dari beberapa orang membuatnya tersenyum bangga. Ternyata masih ada orang yang mengapresiasi suaranya.
Namun jika bukan karena cara main gitarnya Neta yang juga tak kalah keren, mungkin saja ia tak akan berhasil menyanyikan lagu milik Sherina Munaf itu.
"Kenapa o liat liat?!" Terdengar nada suara Neta yang tak bersahabat ketika ia mengajukan pertanyaan pada seseorang.
"Gue mau ngomong sama dia."
Atala terperanjat, ia merasakan sesuatu yang familiar dari pemilik suara yang menjawab pertanyaan dari Neta.
Membuat Atala terpaksa memutar memorinya kembali pada kejadian dua hari lalu. Saat dimana ia terjatuh di aspal dan ada seseorang yang menyeretnya begitu kasar.
Dan itu dia.
"Maksud lo?" Tanya Neta lagi.
"Gue mau ngomong sama temen lo."
Atala meraba lengan Neta. Menggamitnya seakan ia berusaha menjawab lewat gerakan yang ia lakukan. Bahwa ia tidak mau bicara dengan laki-laki itu.
"Kalian enggak saling kenal. Kalimat itu udah bisa bilang kalau gue enggak ngijinin lo ngomong sama temen gue."
"Dan lewat tidak kenal itu, kita bisa ngobrol dan berkenalan," Jawabnya sambil menatap Atala. Membuat Neta menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ini enggak lucu, Wan. Minggir! Kasih kita jalan."
Awan menghentikan langkah mereka dengan meraih lengan Atala. Kendati begitu, jantung Atala berpacu tak menentu.
Awan kemudian menunduk, menyamakan wajahnya dengan wajah Atala dengan tangan yang masih setia menggamit lengan kiri Atala.
"Sebentar aja ya. Gue enggak bakalan ngapa-ngapain kok," Ucapnya lembut.
Deru napas Awan menyapu wajah Atala. Dengan paduan detak jantung Atala yang kehilangan ritmenya.
Neta akhirnya mempersilahkan, memberi ruang bagi Awan untuk berbicara dengan Atala.
"Jangan macem-macem lo, waktu lo cuma lima menit buat ngobrol sama Atala."
Na.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blind
Teen FictionAku nggak butuh mata, jika itu hanya mengambil salah satu nyawa. _Atala Ulfiana. Written by IndaPurna 28 November 2019 End 16 Maret 2020