Awan datang

35 16 2
                                    

Detik jam berjalan melambat, pasokan oksigen seakan menipis, pun sunyi seakan memaksa bertahan di sekitar Atala. Matanya sembab, terdapat juga bekas merah keunguan di sudut kepalanya sebelah kiri, rasanya panas juga perih.

Kakinya seolah melemas, tubuhnya seakan tak mau beranjak dari lantai yang terasa dingin di sekitar punggungnya. Ia justru malah menikmatinya.

Wajahnya pucat pasi, matanya terbuka namun tak bisa menangkap atap langit yang seharusnya ia tangkap dari manik coklat indah itu, justru gelap setia bertahan disana. Seakan melambai-lambai serta tersenyum mengejek. Lalu berbicara. "Hai...
betah betah ya sama aku. Inget kamu itu cuma punya aku, lagian sih buta."

Air matanya kembali mengalir, bermula membasahi pipi lalu turun ke telinganya, bertengger sebentar disana sebelum akhirnya beranjak jatuh ke lantai. Seakan Kalimat "besok lusa kita periksa keperawanan kamu ke dokter!" Senang berdengung dan menghantui otak Atala.

Sebuah ketukan terdengar, namun Atala enggan untuk ingin tahu siapa itu. Ia terlalu larut dengan dunia malangnya, ia terlalu larut dalam dunia kelamnya sendiri. Hingga suara ketukan kembali terdengar, lumayan membuat Atala mengernyit heran karena berasal dari jendela bukan dari daun pintu di depannya.

Samar-samar terdengar suara orang memanggil namanya di sertai ketukan yang tak kunjung berhenti. Atala bangun dari tempat ia menopang tubuhnya, ia usap air matanya lalu berdiri dengan tangan ia rentangkan ke udara. Tongkatnya jatuh di lantai dasar hingga ia harus terpaksa memakai tanganya untuk menyeimbangkan badanya.

Perlahan ia maju selangkah ke arah jendela, ia cukup hafal dengan letak jendela kamarnya selama ia buta tiga tahun ini. Atala tempelkan telinga Atala ke kaca saat ia sudah berada di depan jendela, lalu suara yang begitu familiar terdengar dari celah yang memaksa menyalurkan suara dari luar menuju gendang telinganya. "Ini gue La, Awan."

☁️

☁️

☁️

Air matanya sekejap mengalir menelusuri pipi kirinya, tanganya berhenti bergerak di atas benda bening yang menjadi penghalang antara jaraknya dengan jarak gadis yang tergeletak di dalam kamarnya.

Hatinya mencelos, berdesir perih dan tanpa malu air matanya yang ia simpan sejak perjalanannya ke rumah Atala tumpah.

"Wan?" Panggil Neta berupaya menyadarkan laki-laki itu agar segera melayangkan tanganya untuk mengetuk jendela. Neta masih memperhatikan sekitar, tepatnya dibawah sana. Berharap di Singapura betina juga singa jantan tidak akan mengetahui kalau dia dan Awan sedang di balkon anaknya.

Perlahan namun pasti, Awan mengerang kan tanganya cukup pelan nyaris yang bisa mendengarnya hanya dirinya, sebelum kemudian ia tarik nafas dan kembali mengetuk jendela sedikit keras. Terlihat, tubuh gadis di dalam kamar itu bergerak duduk, menoleh sebentar ke arah jendela lalu berjalan.

Atala berhenti tepat di depan Awan mata mereka bertemu, namun, Awan tertampar kenyataan, Atala bahkan tak bisa melihatnya meski ia tersenyum manis begini. Ia kemudian mendekat, menyatukan bibirnya pada telinga Atala yang sudah lebih dulu tertempel disana. "Ini gue La, Awan."

Seketika mata Atala melebar, mulutnya bergerak, berbicara namun apa daya, Awan jelas tak mendengarnya, suara gadis itu seperti tertelan di tenggorokan.

Atala menempelkan telapak tanganya di kaca, Awan memperhatikannya sekejap lalu membalas uluran telapak tangan Atala dari kaca luar.

"Wan! Buruan, keburu om Bagas sama nenek lampir tau!" Bisik Neta kala melihat Awan yang masih menyamankan tatapanya pada Atala.

Seketika Awan tersentak, ia tolehkan kepalanya ke arah Neta. "Bukanya pakai apa?" tanyanya pada Neta juga dengan berbisik.

"Gue bawa penggaris, tapi kayaknya nggak ngaruh deh, apa Lo coba dulu aja?" Kata Neta sambil merogoh penggarisnya yang ia simpan di saku celana belakangnya. Lalu menyerahkan benda yang terbuat dari besi pada Awan.

Awan menerimanya, ia kemudian memasukkan penggarisnya pada celah jendela bagian bawah, berhasil namun penggarisnya langsung bengkok. Awan menariknya lagi, lalu meluruskan penggaris itu lalu memasukkannya kembali ke celah kecil yang menjadi sasaran. Namun hasilnya sia-sia, penggaris itu terlalu tak sepadan dengan pengait jendela yang terpasang pada jendela kamar Atala.

"Nggak bisa! Apa kita pecahin aja kacanya?" Tanyanya pada Neta.

"Pala Lo sengklek! Ya jangan dong, kalau Lo pecahin kacanya yang ada bukan cuma on Bagas yang tau tapi warga juga bakal ngabisin Lo!" Kata Neta.

"Terus?"

Neta berfikir sebentar, lalu terlintas di fikiranya sejenak. "Lo bisikin Atala aja, suruh dia buka dari dalam."

"Apa bisa?"

"Coba aja dulu!"

Awan menghembuskan nafas pelan, lalu mengetuk kaca tiga kali. Atala mendekat dan Awan kembali menyatukan bibirnya dengan kaca. "Lo bisa nggak, buka pengait jendelanya?" Tanyanya dengan likak likuk mulut super jelas. Atala mengangguk, lalu menggesekkan tanganya pada kaca dingin di depannya hingga berakhir di bawah sana, tepatnya pada benjolan kaku yang ada di dekat kaca.

Awan memperhatikan tangan Atala, perlahan tangan putih itu menarik pengait jendela perlahan. Awan menengadahkan kepalanya ke arah Atala. Gadis itu pucat, pun tanganya gemetar. Namun tak lama hembusan nafas lega keluar dari masing-masing orang yang ada disana. Pengaitnya terlepas, Awan segera membuka kaca itu, kini manik coklat yang menjadi candunya sudah bisa jelas terekam di bola matanya.

Tangannya merengkuh lengan Atala lembut, perlahan Awan tarik tanganya dan mengarahkan gadis itu untuk melangkahkan kakinya kala keluar dari jendela. "Lo nggak papa kan?" Tanya Awan merengkuhnya.

Tangis Atala kembali menyapu pipinya, ia peluk erat tubuh Awan. "Udah jangan nangis Ta. "Kata Neta dari samping sambil mengelus pundak Atala.

Awan merenggangkan pelukannya lalu menangkup pipi Atala. Matanya bertahan pada pelipis Atala yang merah serta keunguan. "Ini kenapa?" Tanyanya sambil mengusap bagian bawah luka Atala.

Atala menarik nafasnya dalam-dalam. Namun air matanya kembali tumpah, ia tak kuasa menjawab. "Tenang dulu, jangan nangis. Coba bilang. Kenapa?" Tanya Awan lembut, sedikit menyayat hati Atala.

"Ayah mau aku cek keperawanan besok lusa."

-Inda

BlindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang