panggilan Baru

78 17 0
                                    

"Jangan macem-macem lo, waktu lo cuma lima menit buat ngobrol sama Atala." Setelah itu Neta menjauh.

Awan menautkan jemarinya pada jemari Atala. Sekejap, ada sesuatu yang hangat yang merongrong isi hati keduanya.

Awan membawanya ke sisi bazar, membuatnya berada di antara berbagai penjual yang menjual keanekaragaman makanan juga barang-barang unik, terdapat juga beberapa aksesoris lucu yang tentunya tidak bisa di lihat oleh Atala.

Kursi panjang berwarna putih yang berada di bawah lampu hias menjadi tempat mereka mengobrol. Namun jangankan untuk berbicara, bersuara saja rasanya Awan tidak mampu.

Awan memandang Atala dengan cermat, manik coklat yang melekat di kedua mata Atala menjadi candunya.

Sejenak Awan hirup udara dengan rakus lalu menghembuskannya perlahan, sebelum kemudian membuka suara dengan pengucapan hati-hati.

"G-gue ...." Kata Awan. Mengawali pembicaraan yang terbata.

"Sebenarnya, gue yang udah nyeret sama ngebentak lo kemarin lusa di zebra cross." Ungkapan sesal itu di dengar oleh Atala.

Mengingat hal itu, menjadikan Awan merasa malu. Ia menutup mata, rasa menyesalnya tak kunjung hilang meski ia sudah mengakui kesalahannya, lalu harus ia apakan rasa menyesal itu agar tak mengganggunya lagi?

"Aku tau."

Awan mengangkat kepalanya, dahinya mengernyit sebelum akhirnya jawaban Atala membuatnya mengerti.

"Aku hafal suara kamu," Katanya

"Gue nyesel, seharusnya ...."Awan menggantung kalimatnya. "Seharusnya gue enggak lakuin itu, seharusnya gue bisa ikhlas nolongin lo, dan seharusnya gue .... "

"Udahlah enggak apa-apa, lagian itu kan udah dua hari yang lalu. Aku juga udah lupain."

Awan mengerjap. Senyumnya terbit kala melihat bibir mungil gadis di depannya terangkat, persis ketika ia melihat senyum itu di mimpinya. Dan senyum itu juga masih sama, masih seperti bulan sabit.

Sejenak senyumnya hilang ketika perkataan gadis pada malam hari itu membuatnya teringat. Apa kamu lupa? Yang buat aku buta kan kamu juga.

"Terus, kenapa lo bilang yang buat lo buta itu gue?" Tanya Awan spontan.

Garis-garis di dahi Atala bermunculan, membuat Awan juga mengernyit heran. Apakah gadis itu lupa dengan perkataannya?

"Aku? Kapan aku bilang begitu?" Tanya Atala dengan nada ragu.

Sekejap Awan tersadar dan memukul kepalanya sendiri, ia tertawa. Tentu tertawa akan kebodohannya sendiri.

Awan membuka mulutnya, namun perkataanya tertahan saat Neta sudah kembali dan duduk di antara dirinya dan Atala.

"Waktu habis! Gue mau pulang sekarang."

Awan mendengus sebal. Ia menatap tak terima ke arah Neta. "Gue bahkan belum sempat kenalan sama dia," Sanggahnya.

"Belum kenalan? Terus selama lima menit tadi lo ngapain? Semedi?"

"Lima menit itu sebentar, mana bisa kenalan cuma lima menit."

"Terus lo mau waktu berapa? Satu jam?"

"Ck. Udah deh gue mau kenalan sama dia dulu," Kata Awan. Sambil menyodorkan tangannya ke arah Atala dan melewati tubuh Neta.

"Dia namanya Atala! Dan Atala, cowok yang ngajak lo ngomong barusan itu namanya Mendung, cowok yang sok populer di sekolah." Kata Neta sambil berbalik menyingkirkan tangan Awan dari hadapannya.

"Ngawur! Nama gue Awan."

"Udah kan? Sekarang gue sama Atala mau pulang, enggak usah ganggu lagi!" Kata Neta lalu berdiri dan meraih lengan Atala.

Atala kemudian berdiri dengan tongkatnya, sedangkan Awan masih belum merasa puas dengan obrolan singkat yang mereka bicarakan.

Awan tanpa berpikir panjang meraih lengan Atala dari genggaman Neta. "Tunggu!" Ia arahkan kembali tatapanya pada Neta. "Ijinin gue ngomong sebentar lagi sama Lala."

☁️

☁️

☁️

Atala terpaku sejenak.

Penuturan nama Lala menembus ke dalam sanubarinya.

Tak terasa juga, sudut bibir Atala sedikit terangkat bersamaan dengan tangan Awan yang menggamit lengannya.

"Gue janji gue enggak bakalan ngapa-ngapain temen lo kok. Lagian apa lo gak pengen liat Vian tampil dulu."

"Apaan sih Lo, ngapain nyangkut pautin cowok Pluto itu lagi?"

"Gue mohon beri gu-" kata Awan terhenti saat semua orang yang berada di dalam sekolahnya lari berhamburan.

Atala bergerak gelisah ketika dia mendengar semua orang berteriak heboh. Genggaman di tangan Awan mengerat, membuatnya menolehkan kepalanya ke arah Awan berada.

Tongkat Atala terjatuh saat seseorang menubruknya, terdengar Awan dan Neta berbincang lirih membuat Atala tak bisa mendengarnya dengan jelas karena pikiranya tertuju pada tongkatnya yang terjatuh.

Tanpa bisa mengendalikan ketakutannya ia remas tangan Awan yang masih memegang lengannya, ia tumpu telapak tangan Awan yang besar itu dengan tangannya.

"Lo sama Awan dulu ya Ta, gue mau masuk sebentar," Kata Neta.

Awan melepaskan tangannya yang berada di lengan Atala lalu berpindah merangkul pundak gadis itu, Awan menatap wajah Atala sebentar sebelum kemudian membawanya berjalan.

"Tunggu, tunggu dulu." Kata Atala sedikit berteriak. Sungguh teriakan orang-orang semakin menggema menakutkan di kepala Atala.

"Tongkat aku ... jatuh."

Awan menundukkan kepalanya, mencari tongkat Atala di atas tanah berbalut rumput hijau itu. Hingga akhirnya ia menemukannya, segera ia mengambilnya dan membawa Atala kembali berjalan.

"Ada apa sih? Kenapa semua teriak-teriak?" Tanya Atala. Namun nihil, bahkan Awan tidak menjawab pertanyaannya.

Sepanjang perjalanan, tidak ada yang bersuara selain degup jantung Awan yang bisa di dengar oleh Atala.

"Lo tunggu sini bentar ya, gue ambil motor dulu." Awan menyerahkan tongkat pada Atala setelah itu meninggalkan Atala di depan gerbang keluar area parkir. Sendiri.

Atala mengangguk, lalu terdengar langkah kaki menjauh.

Udara sepi membuat Atala sekejap merasa takut. Suara teriakan masih terdengar jelas meski dari kejauhan.

Hingga sesuatu kemudian mengendalikannya.

"Awan?" Panggilnya saat ia mengikuti langkah orang yang menariknya.

"Awan ini kamu kan?"

"Bukan!"

Na.

BlindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang