bayangannya

104 20 3
                                    

Awan meniup kopi panas yang berada di genggamannya. Ia tuang perlahan isinya ke piring cawan, lalu meminumnya sedikit demi sedikit.

Jam menunjukkan pukul 23.10. Sudah hampir tengah malam, namun dirinya malah meminum kopi.

Keringat kini membasahi pelipisnya, deru napasnya tidak berirama, pun pikirannya yang nyaris melayang tidak tau dimana.

Sudah hampir setengah jam dia tertidur setelah manggung di kafe tempatnya bekerja, gitar juga masih bertengger di ujung sofa kamarnya, sepatu serta tas juga masih berserakan di lantai, pun jaketnya yang kini ia taruh sembarang di atas meja tempatnya menyeduh kopi.

Namun tidurnya tidak berhasil pulas, ketika gadis buta yang ia temui kemarin pagi berhasil menghiasi alam mimpinya dengan berjuta penyesalan yang kini hinggap di benaknya.

Tidak tahu dimana salahnya, tapi sepertinya ada sesuatu yang membuatnya selalu teringat pada gadis bermata coklat itu.

Terbesit keinginan untuk kembali ke jalan kemarin, mungkin saja gadis itu akan ada disana, dan Awan akan meminta maaf karena telah membentaknya. Setidaknya untuk membuat gadis itu tidak terus-terusan menghantuinya. Sebelum akhirnya dia gelengkan kembali ide konyol di kepalanya itu.

Hingga suara dering ponselnya membuat lamunannya teralihkan. Segera ia menggapai ponsel itu sebelum akhirnya menggeser icon berwarna hijau di layar ponselnya.

Terdapat urutan nomor yang tak di kenal disana membuat Awan mengerutkan kening ketika menempelkan ponselnya di sisi telinganya.

"Ha-"

Suara Awan tiba-tiba berhenti, alisnya nyaris saling bertaut. Terdengar suara yang tidak begitu asing dari dalam ponselnya. Membuatnya tersentak kaget dengan siapa yang kini menelponnya.

Awan berniat untuk menutup panggilan, jika saja suara yang berasal dari sana tak menghentikannya.

"Jangan di tutup dulu, gue mau ngomong sesuatu sama lo Wan."

Awan masih menyambungkan teleponnya.

"Apa?"

"Aku sayang kamu, kapan sih kamu ngajak aku jadian?"

Awan memijat pangkal hidungnya yang terasa pening, dirasanya emosi telah menggunung tinggi di pucuk kepalanya, sebelum ia tersadar dia masih cukup waras untuk membentak Angel lewat telepon di tengah malam begini.

Entah terbuat dari apa harga diri gadis itu hingga dia tak pernah sungkan menyatakan perasaanya berulang kali pada Awan.

Namun yang jadi pertanyaan Awan kali ini, siapa yang telah memberikan nomor Awan pada Angel?

Selepas memikirkan gadis tak waras itu, yang menjadi sasaran utama Awan adalah dua kampret yang sialnya menjabat sebagai sahabatnya.

Pasti salah satu dari mereka yang telah memberikan nomornya pada gadis sakit jiwa yang kini tengah bicara padanya.

"Lo kok diem aja sih, Wan?"

"Lo mau ngomong apa, gue gak punya banyak waktu."

"Kenapa? Kenapa Lo gak punya banyak waktu buat gue?"

"Karena lo jalang!"

Terdengar suara tawa dari seberang, membuat Awan menutup matanya rapat-rapat guna mencoba bersabar.

"Mangkanya kapan kita jadian, biar gue gak jalang lagi."

"Ngel. Lo punya harga diri enggak sih?"

"Buat kamu harganya murah kok, Wan." Setelah itu Angel tertawa. Disusul decakan sebal dari mulut Awan.

Sambungan kemudian terputus, Awan menghembuskan napas frustasi, sepertinya dia akan kembali memasang nomor baru demi menghindari gangguan syaiton itu.

Tak lama terdengar kembali nada ponselnya berdering, tanpa berniat mengangkat Awan bisa tahu siapa yang kini menelponnya.

Hingga beberapa detik sambungan itu terputus sebelum akhirnya kembali berdering. Gadis itu sepertinya memang sudah hilang akal.

Hingga akhirnya Awan putuskan untuk merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dan membiarkan ponselnya berdering di meja yang letaknya lumayan jauh dari ranjangnya.

Awan mencoba memejamkan matanya, menikmati alunan lagu yang ia putar dari dvd depan tempat tidurnya.

Lagu simfoni Hitam milik Sherina Munaf mengalun merdu dari sana. Membuat Awan tenggelam dalam bait lirik yang menyentuh hatinya.

Perlahan namun pasti matanya mulai terpejam. Napasnya terdengar selembut sutra, namun itu hanya sesaat ketika matanya kembali terbuka saat mendengar kaca kamarnya di ketuk.

Ia menolehkan kepalanya kesana.

Awan mengusap kedua matanya dengan kasar, berharap bahwa apa yang ia lihat hanya bayangan semu yang kini sedang mencoba meracuni otaknya.

Namun harapnya sia-sia ketika apa yang dia lihat memang gadis buta yang kemarin pagi sempat dia temui.

Awan langkahkan kakinya ke arah jendela dengan hati berdegup kencang, terdengar suara detakan tak beraturan disana sehingga membuat Awan sedikit susah menghirup oksigen.

Semakin dekat semakin nyata sosok gadis itu. Perlahan ia buka jendela kamarnya dan langsung menampakkan gadis dengan surai hitam panjang duduk di balkon kamarnya dengan segaris tongkat bertengger di kedua kakinya yang ia lipat.

"L-lo ngapain disini?" Tanya Awan gugup, tanpa berani mendekat. Awan hanya mampu berdiri di ambang jendela dengan kaki gemetar.

Gadis itu tersenyum, membuat bulan sabit terbit diantara pipi yang bersemu merah. Awan tersentak, suhu dingin yang menggelitik kulitnya berganti hawa panas ketika melihat senyum indah dari gadis yang tidak ia ketahui namanya itu.

"Kamu lupa sama aku?" Tanyanya tanpa berniat berdiri.

"Gue inget, Lo yang waktu itu jatuh ke aspal itu kan? Dan kenapa Lo bisa disini, lo kan buta, gimana caranya Lo masuk ke balkon kamar gue?"

"Disini orang buta enggak ada harga dirinya ya? Aku cuma buta kali, bukan mati."

Awan terdiam, ia teguk perlahan salivannya dengan susah payah. Tidak tau harus merespon apa.

"Apa kamu lupa? Yang buat aku buta kan kamu juga."

Hingga akhirnya Awan tersadar, ia terjatuh ke lantai dengan selimut melilit pada tubuhnya, nyeri yang ia rasa pertama kali ketika sapaan manis di pagi harinya membuatnya menepuk dahinya kasar.

Hanya mimpi?!

Sialan!

Awan berdiri, namun terhenti saat ia sadar ada sesuatu yang mengganjal dalam otaknya.

"Yang buat aku buta kan kamu juga."

Na.

BlindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang